Saturday

Philosofi Berqurban


Bulan Haji (Arab: Zul-Hijjah) adalah bulan terakhir dalam kelender umat Islam. Dan tidak beberapa hari lagi kita akan memasuki tahun baru Hijrah 1 Muharram 1426. Kita berharap mudah-mudahan amal kita tahun kemarin diterima oleh Allah Subhanahu wata’ala dan diberi kekuatan untuk melakukan amalan-amalan yang lebih baik dari tahun-tahun akan datang.

Secara dzahir, kalau kita melihat dari pemberian nama bulan ini ianya diambil dari perkumpulan ritual yang terbesar di seluruh dunia yang dilaksanakan oleh umat Islam di Makkatul Mukarramah dalam rangka menunaikan rukun Islam kelima yaitu ibadah haji.

Sekarang timbul pertanyaan, Apakah keistimewaan-keistimewaan yang terdapat dalam bulan ini kalau dibandingkan dengan bulan-bulan lainya?. Tiap-tiap bulan dalam bulan Islam mempunyai keistimewaan tersendiri. Sebut saja, Sebulan yang lalu kita berada dalam bulan Ramadhan yang mana kita ketahui Ramadhan mempunyai keistimewaan tersendiri yang diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada hambanya; mulai dari sepuluh hari pertama, sepuluh hari pertengahan sampai sepuluh hari yang terakhir, semuanya penuh dengan keistimewaan dan kebaikan untuk ummat manusia. Begitu juga dengan bulan Zul-hijjah, ianya mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki dibulan-bulan lain, diantara keistimewaan-keistimewaan tersebut ialah:

Pertama: sepuluh hari pertama mempunyai keistimewaan tersendiri bagi umat Islam. Seperti yang disabdakan oleh Rasulallah Sallahu ‘Alaihi Wassallam “Barang siapa yang puasa di hari Arafah maka akan dihapuskan dosanya selama dua tahun” (HR Muslim, Hadis No:1977, lihat juga Ibnul Qaiyyim Al-Jauziyah “Zadul ma’ad fi hadyi khairil ‘ibad” hal: 32/1). Masih dalam riwayat Imam Muslim Nabi bersabda “Pada hari Arafah Allah membebaskan para hamba-hambanya dari api neraka lebih banyak dari hari-hari selain hari Arafah” (HR Muslim, Hadis No:2402). Jangan sampai kesempatan ini kita sia-siakan, gunakan ia untuk melaksanakan ibadah dengan sebanyak-banyaknya.

Kedua: tanggal sembilan Zul-Hijjah yang dinamakan dengan Yaumul Arafah (Hari Arafah) - Arafah adalah nama tempat yang terletak kira-kira enam mile dari kota mekkah - pada hari itu para jamaah haji berkumpul ditempat tersebut untuk mengerjakan rukun haji yang sangat penting sekali yaitu Wukuf di Arafah. Gagal memenuhi rukun haji tersebut mengakibatkan hajinya tidak sah dan wajib mengulang pada tahun berikutnya. Dalam hadis disebutkan “Al-hajju ‘Arafah” artinya: haji yang betul (benar) adalah hajinya orang yang sempat tinggal di Arafah (wukuf di Arafah). Bagi orang yang tidak pergi haji maka hukumnya mustahabb (disunnatkan) untuk perpuasa, karena Rasulallah Sallahu ‘Alaihi Wassallam menganjurkan hal tersebut seperti hadis yang telah kita utarakan sebelum ini. Tentang keutamaan-kekutamaan lainya yang dimiliki oleh bulan haji telah banyak dibicarakan oleh para ulama-ulama kita dan juga telah disampaikan oleh sebagian teman-teman dalam ceramah-ceramah di KBRI dan ditempat lainnya.

Dalam tulisan singkat ini, yang menjadi tumpuan penulis adalah untuk mengetahui Philosofi dibalik disyari’atkannya Qorban, walaupun disana masih banyak hikmah-hikmah yang belum terjangkau oleh akal fikiran manusia tentang kenapa Allah mensyari’atkan qorban itu – bisa jadi pendapat penulis dibawah ini benar dan bisa juga salah, penulis siap untuk dikoreksi - .

Kata-kata Qurban berasal dari bahasa Arab Qa-Ra-Ba, yang berarti dekat. Makna asli dari Qurban adalah mencakupi seluruh perbuatan atau amal yang dikerjakan hanya semata-mata mencari redha Allah Subhanahu wataala. Dalam bahasa Indonesia kita sering mengunakan kata-kata “berkorban” seperti kalimat “saya siap berkorban demi agama” berarti seseorang itu siapa dari segala hal baik dari segi jiwa, raga dan harta untuk mempertahankan agamanya. Akan tetapi menurut istilah agama, kata-kata “Qorban” adalah memotong/menyembelih binatang semata-mata mengharapkan redha dari Allah Subhanahu wataala.

Menyembelih binatang selalu dianggap sebagai penerimaan sesuatu ibadah dalam semua agama. Contohnya dalam masyarakat pagan penyembelihan binatang untuk berhala merupakan tanda ketundukan dan rasa patuh terhadap ajaran yang dianuti. Begitu juga dalam Islam, berqorban termasuk ibadah - tiga hari dibulan Zul-hijjah, tanggal 10-11-12. Hal ini dilakukan untuk memperinggati perayaan qorban pertama yang telah dilaksanakan oleh Khalilullah Ibrahim ‘Alaihisalam ketika beliau bermimpi menyembelih anak kesayanganya Ismail ‘Alaihisalam. Allah menguji Nabi Ibrahim ‘Alaihisalam dengan memerintah untuk melakukan menyembelih terhadap anaknya dan hal itu beliau lakukan. Atas kepatuhan dan ketundukan beliau itu, Allah Subhanahu wataala mengirim domba sebagai penganti Nabi Ismail ‘Alaihisalam. Sejak kejadian itu sampai sekarang penyembelihan hewan Qurban di hari raya ‘Idul Adha menjadi keharusan bagi orang-orang muslim yang mampu untuk melaksanakan hal tersebut.

Berqorban adalah tanda penyerahan diri seseorang kepada Allah Subhanahu wata’ala dan ianya juga merupakan dalil atas kesiapan seseorang untuk melakukan segala perintah Allah Subhanahu wata’ala yang lainnya. Disamping itu Qorban juga menandakan bahwa seseorang itu akan menjadikan hamba Allah yang sebenar-benarnya dengan tidak ragu dan bimbang terhadap segala perintah dari Allah Subhanahu wata’ala serta berserah diri kepadaNya. walaupun harga pengorbanan tersebut harus dibayar dengan nyawa sekalipun, namun ia tetap melaksanakanya demi mencapai redha Allah Subhanahu wataala. Seorang musim yang baik, ketika mendapat perintah dari Allah Subhanahu wata’ala dengan secepat kilat untuk melakukanya dan instinctnya akan berhenti untuk mengikuti hawa nafsu dengan tidak mencari alasan agar tidak melakukan perintah tersebut. Dia tahu bahwa Allah maha mengetahui segala sesuatu, dan hendaklah melakukan segala sesuatu yang diperintahkan walaupun secara akal sehat kadang-kadang perintah itu kontradiksi dengan akal sehat manusia, namun kita sadar bahwa fikiran manusia juga terbatas untuk mengetahui segala hikmah di sebalik perintah tersebut.

Inilah sebenarnya yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail ‘Alaihimassalam. Secara zahir, akal sehat tidak akan menerima kenapa seorang ayah sanggup menyembelih anak yang masih kecil. Akan tetapi hal tersebut merupakan perintah dari Allah Subhanahu wata’ala. Dan kita dapati Nabi Ibrahim ‘Alaihisalam tidak protes terhadap perintah dan tidak ragu-ragu untuk mematuhinya. Begitu juga dengan anaknya Ismail ‘Alaihisalam. Ketika bapaknya menceritakan tentang mimpi yang beliau alami, Ismail ‘Alaihisalam tidak juga protes kenapa hal tersebut harus dilakukan. Ismail ‘Alaihisalam malah mendukung hal tersebut dan menyuruh bapaknya untuk menunaikan perintah yang telah diperintahkan. Sebagai mana yang diabadikan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam Al-Quran, Ismail ‘Alaihisalam berkata kepada bapaknya: “Ya abatii, if’al ma tu’mar satajidunii insya Allah minassaabirin” Artinya: Wahai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah; kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (QS. As-soffaat: 102).

Qurban yang kita lakukan hari ini adalah untuk mengenang model penyerahan dan juga meneladani terhadap ide yang sama yang pernah dilaksanakan oleh seorang ayah dan anaknya terhadap perintah Allah Subhanahu wata’ala yang tanpa ragu-ragu dan bimbang terhadap segala perintah yang disuruh olehNya, walaupun ia harus mengorbankan nyawa sekalipun hal itu tidak dapat tidak harus dilaksanakan.

Secara simbolik dapat kita pahami bahwa philosofi sebenar dibalik disyari’atkannya umat Islam untuk melaksanakan ibadah qorban adalah untuk menyatakan rasa patuh dan tunduk serta kesiapan kita terhadap segala perintah yang telah anjurkan untuk dikerjakan dan meninggalkan segala larangan yang telah dilarang oleh Allah Subhanahu wataa’ala.

wallahu ‘alam.


Thursday

Keutamaan Bulan Zul Hijjah


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : [ مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ؟ قَالَ : وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
(رواه الإمام البخاري ، وأبو داود ، والترمذي) .

Di riwayatkan dari Ibnu Abbas beliau berkata : bahwa Nabi saw. Bersabda: "Tidak ada amalan sholeh pada hari-hari lain yang lebih utama daripada hari ini?" (yaitu hari-hari sepuluh), Mereka menjawab, "Tidakkah jihad (lebih utama)?" Beliau bersabda, "Bukan pula jihad, kecuali orang yang keluar dengan mempertaruhkan jiwa dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan sesuatu pun." (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Tarmizi).

Hadist di atas menyatakan keutamaan sepuluh hari di bulan Zulhijjah. Siapapun orangnya yang melakukan amalan sholeh di sepuluh hari pertama di bulan Zulhijjah, maka pahalanya lebih utama dari dari pada berjihad di jalan Allah...

Kenapa amalan-amalan soleh di sukai oleh Allah pada bulan ini?
Ibnu Hajar dalam “Fathul Bari ” mengatakan : “karena di bulan ini mencakupi didalamnya sholat, puasa, shadaqah dan haji”.

Banyak sekali amalan-amalan sholeh yang dapat di kerjakan dalam bulan ini, diantaranya:
1. Jika anda mampu berangkatlah ke tanah suci untuk menunaikan haji.
2. Perbanyak melakukan sholat (baik wajib maupun sunnah).
3. Berzikir kepada Allah dan sebaik-baik zikir adalah dengan membaca Al-Quran.
4. Bersadaqah.
5. Berqurban (menyembelih binatang).
6. Puasa di hari Arafah (bagi yang tidak berangkat haji)
7. Bertakbir dan bertahmid.
8. Sholat Sunnah Aidul Adha.
9. dan amalan-amalan lain yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya..
Mari sama-sama kita mengisi hari-hari kita dengan Amalan-amalan Sholeh... Semoga Allah SWT menerima amalan kita...Ameen ya Rabbal Alamin...

“ Fastabiqul Khairaat ”
Berlomba-lomba berbuat kebaikan


Sunday

Hari-hari terakhir di Bulan Ramandhan

Hari-hari terahir di bulan Ramadhan

Tidak terasa kita sudah berada diakhir bulan Ramadhan. Mudah-mudahan Ramadhan kali ini dapat menjadikan ibadah puasa kita bertambah dan sempurna. Bukan sekedar lapar dan dahaga saja. Kita patut bersyukur karena dapat memenuhi panggilan Allah SWT dengan melakukan ibadah puasa, sementara saudara-saudara kita yang lain tidak dapat lagi melakukannya karena sudah berpulang ke rahmatullah. Dan seperti setiap ibadah dimaksudkan untuk keutamaan hidup, maka ibadah puasa ini pun semoga dapat dilaksanakan lebih baik hendaknya dan mencapai sasaran pokok: la'allakum tattaqum (agar kamu menjadi orang-orang yang takwa) dalam membina kehidupan yang diridhai Allah SWT.

Alangkah baiknya kalau dalam kesempatan ini, kita merenungkan kembali hadis-hadis Rasulullah SAW yang berkaitan dengan ibadah puasa menjelang hari-hari terakhir bulan Ramadhan:

Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala pada setiap jam di bulan Ramadhan membebaskan enam ratus ribu orang dari neraka, di antara mereka yang sepatutnya mendapat siksa, sampai tiba lailatul qadar. Sedang pada malam qadar itu, Dia membebaskan sebanyak orang yang dibebaskan sejak awal bulan. Dan pada Hari Raya Fitrah, Dia membebaskan sebanyak orang yang dibebaskan sejak awal bulan sampai Hari Raya Fitrah itu".

Dan dari Jabir, dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:" Apabila tiba malam terakhir dari bulan Ramadhan, maka menangislah langit, bumi dan para malaikat atas musibah yang menimpa umat Muhammad SAW." Seseorang bertanya: "Ya Rasulullah, musibah apakah itu?” Jawab Rasulullah SAW: "Perginya bulan Ramadhan. Karena sesungguhnya doa-doa di waktu itu dikabulkan, sedekah-sedekah diterima, kebaikan-kebaikan dilipatkan, sedang azab ditahan."

Oleh karenanya, musibah manakah yang lebih besar daripada perginya bulan Ramadhan. Apabila langit dan bumi saja menangis demi kita, maka kita lebih patut menangis dan menyesal atas terputusnya keutamaan-keutamaan dan kemuliaan-kemuliaan ini dari kita.

Dalam hadis lain disebutkan: Tidak ada bulan yang lebih baik dari bulan Ramadhan bagi Kaum Muslim.

Orang yang berbuat dosa di antara waktu shalat fardhu yang lima, shalat Jum'at sehingga Jum'at berikutnya, dan bulan Ramadhan hingga bulan Ramadhan berikutnya, akan dihapuskan dosa-dosanya apabila ia melakukan ibadah tersebut, dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa-dosa besar. Rasulullah SAW juga bersabda: Alangkah kecewanya orang yang sejak tiba bulan Ramadhan hingga habis bulan tidak diberi ampunan. Orang yang seperti itu akan menyesal karena melalaikan ibadah dalam bulan Ramadhan; demikian pula pauasanya hampa belaka, karena tidak mendapat karunia ampunan Allah SWT.

Disana masih ada lagi amalan yang harus kita kerjakan setelah Ramadhan yaitu puasa enam hari di bulan syawwal yang barang siapa yang mengerjakan puasa tersebut maka pahalanya sama dengan puasa selama setahun. Seperti yang di riwayatkan oleh Abu Ayub Al-Anshari r.a. berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian diikutinya puasa itu dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka pahalanya sama dengan puasa satu tahun" (HR Muslim).

Kita semua mengetahui bahwa bulan Ramadhan adalah bulan rahmat, bulan kasih sayang. Pada bulan ini, Allah melimpahkan kasih sayang-Nya pada kaum Mukmin. Pada gilirannya, kita pun diperintahkan menyebarkan kasih sayang pada segenap makhluk-Nya. Pada bulan Ramadhan misalnya, Allah mendidik kita untuk merasakan lapar dan dahaga, supaya tumbuh pada diri kita rasa sayang pada mereka yang dalam hidupnya senantiasa bersahabat dengan lapar dan dahaga. Pada akhir Ramadhan, kita wujudkan rasa kasih ini dengan mengeluarkan zakat fitrah.

Hari ini kita merayakan Idul Fitri. Kita akan berkumpul dengan saudara-saudara kita sesama kaum Muslim – bagi masyarkat yang berada di Islamabad khususnya dan seluruh Pakistan umumnya, walaupun kita jauh dari keluarga tersayang janganlah bersedih - akan tetapi kita hendaklah bersyukur kepada Allah swt karena kita telah dapat menyelesaikan tiga puluh hari yang penuh ibadah dan kesucian. Telah kita tinggalkan saat-saat bahagia ketika kita berkumpul bersama keluarga seusai adzan maghrib untuk berbuka bersama; saat-saat yang indah ketika kita memenuhi masjid untuk menuntut ilmu, tadarus, dan tarawih; saat-saat yang khidmat ketika kita bangun di waktu dini hari makan sahur dan menjelang azan subuh kita isi dengan dzikir, istighfar, dan do'a. sedih rasanya untuk kita berpisah dengan bulan yang bukan saja dipenuhi ibadah kepada Allah, tetapi juga bulan ketika kita menaburkan kasih-sayang kepada sesama hamba Allah. Seperti kata Rasulullah SAW, “Inilah bulan (Ramadhan) yang pada awalnya kita sebarkan kasih sayang, pada pertengahannya kita taburkan ampunan, dan pada akhirnya kita membebaskan diri dari api neraka”.

Untuk itu, mari kita isi lembaran-lembaran hidup kita setelah ramadhan dengan perubahan yang membawa manfaat yang telah kita dapatkan dari madrasah ramadhan selama ini. Selanjutnya hendaklah mengawas diri selalu selama menyambut lebaran agar tidak terjebak dengan kemaksiatan-kemaksiatan yang ada. Bergembira atau bersukaria dihari lebaran merupakan sunnah Rasulallah SAW, dalam sebuah hadist disebutkan bahwa Rasulallah menyuruh wanita-wanita yang lagi datang bulan (baca: haid) untuk keluar merayakan hari raya. Akan tetapi sukaria hendaklah tidak sampai melampaui batas ajaran-ajaran agama. Jangan kita nodai kemenangan yang telah kita capai sebulan penuh dengan perkara-perkara yang dapat menghitamkan kembali lembaran-lembaran yang telah kita bersihkan. Wallahu ’alam Bishowab.




Wednesday

Menyambut Datangnya LAILATUL QADAR

Arti Lailatul Qadar

Salah satu malam dari sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, disebut lailatul-qadar. Kata lail atau lailah, artinya malam hari; dan kata qadar, makna aslinya, ukuran. Tetapi, kata lailatul qadar biasa diterjemahkan oleh para ulama dengan sebutan "malam yang agung" atau "malam yang mulia".

Sebenarnya Islam tidak membenarkan adanya sistem bertapa, namun dalam sepuluh hari terakhir itu, kaum Muslim diizinkan untuk hidup seperti bertapa, yaitu dengan jalan mengurung diri di dalam masjid, dan menjauhi segala urusan duniawi dengan beri'tikaf dimasjid.

Lailatul Qadar merupakan teka-teki Tuhan, kapan turunnya hanya Allah saja yang tahu. Namun Rasulullah memberikan bayangan-bayangan, Lailatul Qadar turun pada bulan Ramadan, terutama pada sepuluh hari terakhir, khususnya malam-malam ganjil.

Sekarang yang menjadi pertanyaan ialah:
1. Apa dan bagaimana malam itu?
2. Apakah ia terjadi sekali saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu, atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang masa?
3. Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya, dan
4. benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan sebagainya)? Bahkan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.

Yang pasti dan harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran bahwa,

"Ada suatu malam yang bernama Lailat Al-Qadar, dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh berkah, di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan."

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami" (QS Al-Dukhan 3-5)

Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr l).

Malam tersebut adalah malam mulia. Tidak mudah diketahui betapa besar kemuliannnya. Hal ini disyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu: Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr 2)

Kalimat ma adraka ( ما ادرك ) tiga belas kali terulang dalam Al-Quran, sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang berkait dengan hari kemudian, seperti: Ma adraka ma yaum al-fashl, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia. Tiga kali ma adraka sisa dari angka tiga belas itu adalah: Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (QS Al-Thariq 2) Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (QS Al-Balad12) Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr 2)

Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan dengan objek pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat, dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan Al-Quran dalam tiga ayat. Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah dekat waktunya? (QS Al-Ahzab 63) Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat? (QS Al-Syura 17). Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan dosa)? (QS 'Abasa 3). Dua ayat pertama di atas mempertanyakan dengan ma yudrika menyangkut waktu kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Ketiga hal tersebut tidak mungkin diketahui manusia.

Secara gamblang Al-Quran --demikian pula As-Sunnah-- menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, tidak pula mengetahui tentang-perkara yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walau oleh Nabi Saw. sendiri, sedang wa ma adraka, walau berupa pertanyaan namun pada akhirnya Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Demikian perbedaan kedua kalimat tersebut.

Ini berarti bahwa persoalan Lailat Al-Qadar, harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena di sanalah kita dapat memperoleh informasinya.

Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di sini ditemukan berbagai jawaban.

Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
1. Penetapan dan pengaturan.
sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun). Al-Quran yang turun pada malam Lailat Al-Qadar, diartikan bahwa pada malam itu Allah Swt. mengatur dan menetapkan khithah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw, guna mengajak manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai individu maupun kelompok.
2. Kemuliaan
Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadar yang berarti mulia ditemukan dalam surat Al-An'am (6: 91) yang berbicara tentang kaum musyrik.
3. Sempit
Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr. “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan”. Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara 1ain dalam surat A1-Ra'd (13: 26): Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).

Ketiga arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan.

Namun demikian, sebelum kita melanjutkan bahasan tentang Laitat Al-Qadar, maka terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya adakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu?

Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran.

Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi.

Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailat Al-Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan Rasululllah Saw. menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu, secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh Ramadhan.

Memang turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri.

Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.

Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi 1ain berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di sana mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?

Demikian juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul Saw. menganjurkan sekaligus mempraktikkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa rasulallah SAW ketika datang sepuluh hari di akhir Ramadan “Yasyuddu Mi’zarahu”. atau mengencangkan ikatan kainnya. artinya rasulallah bersungguh-sungguh untuk mencari Lailatul Qadar dengan memperbanyak ibadah.

Maka oleh itu kesiapan jiwa sangat diperlukan di hari sepuluh hari terakhir dibulan Ramadan, apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian.

Sayid Qutub, berkata “Malam yang lebih baik dari seribu bulan. Angka tidak berarti pembatasan, tetapi dimaksudkan adalah banyaknya nilai. Berapa ribuan bulan dan tahun telah berlalu tanpa meninggalkan pengaruh apa-apa, tanpa perubahan, seperti yang ditinggalkan oleh satu malam yang penuh berkah dan kebahagiaan Lailatul Qadar”. (Fi Zilalil Quran, Juz 6, hlm. 3944-3946).

Kapan tepatnya Lailatul Qadar terjadi?

Tidak ada yang tahu. Nabi Muhammad saw. sendiri juga tidak tahu. Namun beliau menganjurkan agar mencari Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dengan cara iktikaf (diam di masjid). Iktikaf merupakan kebiasaan Nabi Muhammad saw. setiap akhir Ramadan. Rasulullah saw. biasa beriktikaf pada malam-malam sepuluh terakhir bulan Ramadan (21-30). Dalam sebuah hadis disebutkan Rasullalah bersabda “Carilah Lailatul Qadar pada malam-malam terakhir Ramadan itu" (Hadis sahih Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah).

Dalam hadis lain juga disebutkan, setiap orang yang beribadah bertepatan dengan saat Lailatul Qadar disertai keimanan dan harapan mendapat rida Allah SWT, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu (Hadis sahih Bukhari dan Muslim).

Beberapa ulama telah mencoba merumuskan tanda-tanda Lailatul Qadar secara fisik, yaitu pada malam itu suasana tenang hening, pelataran langit hitam kelam dihiasi taburan bintang jernih terang. Tak ada kekacauan, tak ada keributan. Ketika matahari terbit, sinarnya lembut temaram. Marak siang tidak terlalu terik.

Bahkan ada beberapa orang yang konon berhasil menyaksikan proses alam tatkala turun Lailatul Qadar. Pohon-pohon merunduk, aliran air di sungai terhenti, rinai gerimis tertahan di angkasa, dan macam-macam situasi mistis lainnya. Namun semua itu sulit dibuktikan karena sangat bersifat pribadi sekali.

Imam Al Ghazali Rahimullah berpendapat malam berlakunya Lailatul Qadar itu boleh dikenali dengan cara yang berikut:
Jika awal Ramadan jatuh pada hari Ahad atau hari Rabu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 29hb Ramadan.
Jika awal Ramadan jatuh pada hari Isnin maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 21hb Ramadan.
Jika awal Ramadan jatuh pada hari Selasa atau Jumaat maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 27hb Ramadan.
Jika awal Ramadan jatuh pada hari Sabtu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 23hb Ramadan.

Beberapa ulama lain berpendapat jika seseorang menemukan Lailatul Qadar, jangan banyak bicara ini-itu. Cukup perbanyaklah doa dan wirid, memohon rahmat dan ampunan Allah SWT, serta beramal saleh kepada sesama manusia, berupa infak, sedekah, beramal jariyah dan berbagai jenis pertolongan yang bermanfaat bagi orang yang membutuhkan.

Para ulama memang berbeda pendapat mengenai jatuhnya lailatul qadar itu. Ada yang menyatakan pada malam ke-27 Ramadhan. Ada pula yang mengatakan pada malam-malam yang ganjil dari mulai tanggal 21 sampai tanggal 29. Dan ada pula yang mengatakan seluruh bulan Ramadhan adalah waktu untuk mendapatkan lailatul qadar itu, sebab kaum Muslim hendaknya beribadat setulusnya sepanjang masa bulan Ramadhan itu dengan tidak membedakan satu hari dan malam daripada hari dan malam yang lain. Dengan demikian, setiap hari pada bulan Ramadhan mempunyai arti yang tidak boleh diabaikan satu hari jua pun. Karena itu pula Allah hanya menyebutkan pada bulan Ramadhan Al-Quran itu diturunkan untuk tidak membedakan satu hari dari yang lainnya.

Ada juga yang berpendapat, di dalam ayat diatas ada menyebut perkataan Lailatul-Qadar sebanyak tiga (3) kali. Huruf Lailatul-Qadar (dalam huruf Al-Quran) mempunyai sembilan (9) huruf. Jika dikalikan 9 x 3 = 27. Jadi Para Ulamak menyatakan Malam Lailatul-Qadar itu adalah pada malam duapuluhtujuh (27) Ramadhan. (Kata ulin niam)

Untuk mendapatkan Malam Lailatul-Qadar kita hendaklah menumpukan berIbadat sesungguhnya pada sepuluh (10) malam terakhir Ramadhan, terutama pada malam-malam ganjil dan pada malam duapuluhtujuh (27) Ramadhan.

Tampaknya bagi kita tidak menjadi persoalan kapan lailatul qadar itu didatangkan, tetapi yang penting adalah menanti kedatangannya pada setiap waktu dan mempersiapkan diri untuk itu. Tetapi kalau kita mengetahui - dengan izin Allah - akan malam lailatul qadar, maka Rasulullah menganjurkan agar kita berdoa. Berdasarkan hadis berikut: “Dari Aisyah r.a., ia berkata; saya bertanya: "Ya Rasulullah bagaimana kalau saya tahu akan malam lailatul qadar itu? Apa yang harus saya ucapkan pada malam itu?" Beliau bersabda: Ucapkanlah: "Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa fa'fu 'anni" Ya Allah, Engkau adalah maha pengampun, suka mengampuni, maka ampunilah hamba" (HR Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan Ahmad).
Mudah mudahan malam mulia itu berkenan mampir menemui kita. Amin yarabbil Alamin.
wallahu 'alam.

Thursday

Memahami Kebebasan Berfikir

Salah satu hasil dari gerakan renaissance di Eropa abad ke-16 adalah munculnya gelombang modernitas yang tak terbendung sampai hari ini. Salah satu buahnya adalah bahwa manusia modern didorong untuk berpikir sebebas-bebasnya (dalam bahasa arab di sebut dengan Hurriyah al-fikry dan free-thinking dalam bahasa Inggrisnya) sehingga doktrin-doktrin agama dan keimanan kepada Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang membelenggu dan ketinggalan zaman, dan karena itu harus disingkirkan. Tiap gagasan yang mengkritik hal-hal yang sudah mapan akan dipandang “bagus”, “berani”, “ilmiah”, dan sebagainya. Tetapi sebaliknya gagasan-gagasan yang membela apa-apa yang sudah mapan, apapun juga, termasuk agama, cenderung dikategorikan kolot, jumud, kuno, ngak berkembang dan sejenisnya. Segala apa yang menghambat kemajuan befikir adalah musuh, menurut cara berpikir modern itu.

Biasanya yang mengkaji sesuatu menurut pemikiran ini memakai logika matematika, juga pendekatan perasaan, pendekatan trend kemanusian dewasa ini dan mendewakan akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Tapi anehnya kalau ada pihak yang kontra dengan mereka sebanyak apapun mereka mengeluarkan dalil dan argumentasi, lantas dipandang cenderung pro tradisi atau kurang ilmiah, atau bahkan dianggap memasung kebebasan.

Salah satu contoh adalah deklarasi "Tuhan telah mati" (God is dead) oleh Nietzsche seorang filosuf kontroversial dari Jerman yang telah menimbulkan heboh yang luar biasa di kalangan penganut agama formal seluruh dunia. Nietzsche pada akhirnya memang menjadi seorang nihilis, sementara kerinduannya untuk menemukan Tuhan pada waktu itu telah menemui jalan buntu, dan dia sendiri kemudian menjadi gila, 11 tahun sebelum meninggal pada 25 Agustus 1900 dalam usia 56 tahun. (Thus Spoke Zarathustra, 1976:297, Mengutip dari tulisan Ahmad Syafi’i Ma’arif). Tentunya hal ini merupakan hasil atau buah dari berfikir dengan sebebas-bebasnya tanpa memperhatikan batas dan koridor yang ditentukan oleh sang creator manusia itu sendiri.

Walaupun akal dapat membedakan antara yang baik dan buruk, akan tetapi akal manusia punya keterbatasan. Tidak semua yang ada di dunia ini bisa dicerna oleh akal fikiran manusia. Makanya dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda: “tafakkaru fi khalqillah wala tafakkaru fillah” (Hadis hasan, shahih al-jami’ lil Albani hadis no: 2979) atau berfikirlah terhadap apa-apa yang telah diciptakan oleh Allah dan jangan berfikir tentang zat Allah. Ajaran agama tidak bisa dianalogikan seperti teori matematika. Saidina Ali Radhiallahu ‘anhu berkata “kalaulah agama itu dengan akal maka niscaya yang diusap bawah (telapak)nya khauf (kaos kaki dari kulit binatang) bukan atasnya”. Sama halnya dengan seseorang apabila (maaf: kentut) ketika ingin berwudhu’ lagi harus membasuh muka, tangan, rambut, telinga dan kaki, kenapa tidak yang dibasuh tempat keluarnya kentut saja, kan lebih masuk akal?. Artinya akal manusia terbatas untuk mengetahui apa hikmah disebalik itu. Hal ini juga menunjukkan kelemahan akal manusia untuk menganalisa hal tersebut. Kebebasan haruslah sesuai dengan prinsip kebebasan itu sendiri tidaklah tidak terbatas. Hal ini menunjukan keterbatasan manusia sebagai makhluk dihadapan Allah SWT.

Menyangkut upaya sebagian kalangan mencari metode baru untuk mentafsir ulang (reinterpretasi) terhadap agama, siapa pun tidak akan keberatan. Tapi harus diingat, ada yang perlu dan ada yang tidak perlu untuk ditafsir ulang. Masak Alquran yang udah jelas mau ditafsir ulang dengan metode diluar yang disepakati oleh para ulama’ yang muktabar, hanya dengan alasan Alquran merupakan produk budaya (intaj tsaqafi), teks linguistik dan hanya merupakan fenomena sejarah. Tentunya hal ini mengada-ngada. Kalau alquran itu bersifat kebudayaan berarti bisa salah, karena manusia ataupun produk budaya tidak mungkin dianggap mutlak kebenaranya. Kesalahan itu bisa saja meliputi isi maupun teks Alquran. Kalau Alquran bisa salah, lantas apa lagi yang bisa kita yakini dari alquran? Nanti kalau ada orang yang merujuk Alquran mengenai sesuatu persoalan, orang yang lain akan dengan ringannya berkelit, “nanti dulu. Itu kan menurut kamu. Belum tentu benar kan?”. Kalau teks dan Alquran sudah dipandang relatif, apalagi yang mau kita pegang dan yakini? Akhirnya nanti berzina juga belum tentu salah, shalat belum tentu wajib, puasa boleh jadi berbeda dari yang sudah biasa dijalankan, dan seterusnya. Toh Alquran cuma produk budaya, yang tidak terlalu jauh berbeda dengan buku-buku lainnya.

Tafsir ulang sangat tepat apabila diarahkan untuk bagaimana merevitalisasi pendidikan, ekonomi, politik dan sebagainya agar menjadi lebih baik. Tapi sayang, sedikit yang kearah sana, yang ada kebanyakan berbicara pada tataran abstrak dan terkesan nyeleneh dan lalu dibakukan. Begitu juga dengan kebebasan berfikir, ianya harus diarahkan agar menjadi lebih positif dan kontruktif, terutama untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Tetapi yang sangat disayangkan kebebasan berfikir yang ada sekarang justru menkristal menjadi isme, abslutisme, bahkan manjadi agama baru yang mendampingi agama.

Penggalan ayat Alquran: la’allakum tatafakkarun, la’allahum yatafakkarun, liqaumi yatafakkarun, affala ta'qilun dsb. Ayat-ayat ini sering diartikan sebagai kebebasan berpikir oleh sebagaian orang. Akan tetapi ayat-ayat itu dalam pemahamannya, lebih tepat dimaknai sebagai optimalisasi berfikir bukan kebebasan berfikir tanpa batas. Barangkali, salah satu dari hikmah kenapa Allah SWT mengharamkan khamar (minuman keras), narkoba dan sejenisnya sebab apabila terkena itu, seseorang akan kehilangan akal sehatnya. Jadi agama Islam sangat menghormati akal karena Islam adalah agama untuk orang yang berakal. Akal hanya akan bermanfaat apabila akal berpikir dalam batas-batasnya bukan sebebas-bebasnya sehingga keluar dari koridor yang telah ditentukan.

Diakhir tulisan ini mari kita merenung sebuah hadis yang diriwayakat oleh imam at-Tarmizi bahwa Rasullullah saw bersabda: “orang yang berakal itu adalah orang yang memperhatikan dirinya dengan memperbanyak amal untuk bekal setelah mati. Sedangkan orang yang lemah itu adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan mengharapkan sesuatu kepada Allah tanpa melakukannya”. [] Waallahu ‘alam Bhishowab.

Wednesday

Madrasah Rasulallah SWT: Prototype Pembentukan Ummat


Sebuah bangunan yang kokoh tentu tidak berdiri dengan sendirinya, pasti telah melalui sebuah proses yang panjang dan melelahkan. Mulai dari proses mengali lobang tempat berdirinya pondasi bangunan sampai penyusunan batu bata, menancapkan besi, dan pengecoran semen. Proses tersebut dilakukan agar pondasi bangunan menjadi kuat, tidak mudah rusak oleh gempa bumi, terpaan angin atau badai yang datang dengan tiba-tiba. Penanaman pondasi yang asal-asalan sudah tentu bangunan akan cepat rusak, mudah roboh walaupun yang datang hanya angin sepoi-sepoi.

Sebagai mana bagunan yang kokoh memerlukan penanaman pondasi yang kuat, sama halnya dengan pembentukan ummat, ianya memerlukan kepada penanaman pondasi (baca: ‘aqidah, iman dan akhlak) yang kuat agar tidak mudah goyah dengan gemerlapnya kehidupan dunia dan godaan-godaan yang datang silih berganti. Begitu juga dengan melahirkan rijaludda’wah yang mengikrarkan ubudiyyahnya hanya kepada Allah SWT tidak semudah membalik telapak tangan, akan tetapi memerlukan pengorbanan, kesabaran, waktu yang panjang serta komitmen yang berkesinambungan.

Paling tidak ada tiga tahapan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam membentuk masyarakat ketika di Makkah: Pertama: Tahap pembangunan ‘Aqidah. ‘Aqidah merupakan yang pertama dan utama dalam pembentukan syakhsiyyah Islamiyyah dan ‘Aqidah juga yang akan membetulkan segala tindak-tanduk seseorang berikutnya. Kedua: Tahap mempraktekkan Iman dalam kehidupan sehari-hari “Iman bukanlah dengan angan-angan, tetapi ia adalah apa yang bertahta di hati dan dibuktikan dengan perbuatan”. Ketiga: Hijrah, tahap mempraktekkan ideologi dalam kehidupan bernegara. Hal itu ditandai dengan hijrahnya Rasulallah SAW bersama para sahabat ke Madinah Al-Munawwarah untuk mendirikan negara yang berdaulat.

Disamping memperkokoh tiga komponen diatas, baginda juga melakukan penanaman mafaahim; bahwa agama Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, tidak ada satu persoalanpun yang menyangkut kehidupan manusia yang tidak diatur oleh Islam, baik yang berkaitan dengan hukum ataupun yang menyangkut masalah ‘aqidah, ibadah, politik, ekonomi, peperangan, perdamaian, perundang-undangan dan semua konsep hidup manusia. Dan Barang siapa yang memilih agama selain agama Islam maka mereka termasuk golongan orang-orang yang merugi (QS. 3:85).

Model berda’wah yang dilakukan oleh Rasulallah SAW melalui proses pembinaan para sahabat tersebut membuahkan hasil yang luar biasa. Disana sederet nama-nama para sahabat yang diabadikan oleh sejarah, tingkat keimanan mereka telah teruji. Sebut saja misalnya: keluarga Ammar bin Yasir yang mendapat gelar awwalussyahid fil Islam. Bilal bin Rabah yang disiksa oleh Abu sofiyan dengan meletakan batu besar diatas dadanya dipadang pasir yang panas. Abu Bakar As-Siddiq yang menemani Rasul ketika di Gua Tsur. Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang sangup tidur ditempat tidurnya Rasulullah SAW ketika para kafir Quraish ingin membunuh baginda, padahal resiko yang dihadapi oleh saidina Ali adalah maut. Mereka semuanya (Radiyaallahu ‘anhum ajmaain) adalah produk binaan Rasulullah yang tingkat militansinya sudah teruji, maka kita kenal mereka dengan generasi Al-Quran yang unik yang memiliki ‘aqidah salimah, ibadah shohihah, akhlak yang baik serta mafaahim yang terarah.

Proses pembinaan yang lakukan oleh Rasulallah SAW di Darul Al-Arqam itu, mengambarkan bahwa untuk melahirkan generasi yang tangguh dan tahan banting perlu melakukan sebuah proses pembinaan untuk menyatukan misi dan visi dalam berda’wah, karena kalau tidak, biasanya banyak hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi. Misalnya: saling menjatuhkan, tidak siap dipimpin oleh orang lain, berkelahi sesama sendiri dalam masalah-masalah yang sepele dll. Secara zahir bersatu tapi sebenarnya hati-hati mereka bercerai berai “Tahsabuhum jamii’an wa Quluubuhum Syatta”(QS. 59:14). Disinilah sebenarnya letak pentingnya penyatuan visi dan misi ketika ingin melakukan perkerja-pekerjaan besar semacam pergerakan da’wah. Proses pembinaan dilakukan agar ada sifat ta’aaruf, tafaahum dan takaaful dalam diri tiap-tiap individu, sehingga dari situ lahirlah ribathul quluub yang kuat diantara sesama.

Prototype (model) pembentukan ummat yang dipelopori oleh Rasulallah SAW ini, sekarang banyak diikuti oleh pergerakan-pergerakan da’wah di dunia hari ini karena hasilnya yang luar biasa, mampu mencetak generasi da’wah yang kuat, tangguh dan tetap konsisten dalam menjalankan perintah-perintah Allah SWT. Siap bekorban demi mempertahankan Islam sebagai Agama dan ideologi, serta menjadikan Islam sebagai manhaj hayah dalam kehidupan bermasyarakat[]
"Yaa Ilahi Antal maqshudi wa ridhaka mathlubi". Wallahu ‘allam Bishowab.



Monday

Menyikapi Perbedaan


Perbedaan merupakan sunnatullah di muka bumi ini, sebab banyak faktor kenapa manusia selalu berbeda. Mulai dari berbedanya alur pemikiran manusia sampai kepada pemahaman-pemahaman terhadap nash-nash Al-quran dan hadits yang sudah ada. Yang pasti perbedaan dan keragaman itu hal yang pasti yang sudah diciptakan oleh Allah melalui fenomena Alam. Sebab kalau Allah mau, Allah bisa buat seragam sehingga semuanya manusia menjadi makhluk beriman. Jadi keragaman adalah kehendak Allah. Penyeragaman adalah penentangan terhadap kehendak itu. Penolakan terhadap perbedaan dan keragaman sama saja penolakan terhadap perbedaan kelamin! Masa’ sih anda maunya di dunia ini perempuan saja, tidak ada laki-lakinya. Susah dong, jika tidak boleh dikatakan mustahil bin tidak mungkin. Namun yang dituntut dari kita adalah bagaimana menyikapi perbedaan itu dengan baik dan bijak.

Secara umum, segala yang ada dalam Islam bisa dibagi dalam dua klasifikasi. Pertama: Sesuatu yang sudah fixed, tidak bergerak, statis dan kadang bersifat universal. Kedua: Ada yang masih bisa di “rubah”, dipengaruhi oleh kondisi ruang dan waktu.

Yang pertama, dalam terminologi disiplin keislaman, disebut dengan "ma'lum min al din bi al dharurah" yaitu sesuatu yang sudah fixed dan tidak bisa dirubah-rubah. Sebotak apapun anda jangan coba-coba untuk merubahnya, kecuali kalau anda mau dituduh nyeleneh, liberal, pluralis dan bahkan kafir dll. Termasuk dalam jenis ini adalah kewajiban shalat, kewajiban puasa Ramadhan dan beberapa hal lainnya yang mendasar.

Klasifikasi kedua adalah bahwa dalam Islam masih ada yang bisa di “rubah”, tidak harga mati. Dalam realitanya kalau anda baca buku-buku keislaman yang jumlahnya jutaan (kayak udah pernah ngitung aja !), anda akan sependapat dengan saya, bahwa kategori ini adalah kategori yang dominan dalam hukum Islam hingga saat ini. Bisa di “rubah” di sini disebabkan oleh, diantaranya:

  1. Berbedanya akal fikiran dan kemampuan seseorang dalam meng-analisa suatu permasalahan yang timbul, baik yang berhubungan dengan nash-nash ayat Al-quran, Hadits maupun juga dengan tata bahasa arab itu sendiri.
  2. Berbedanya lingkungan dimana seseorang tinggal, mungkin suatu hukum di tempat A bisa dipraktekkan, tapi hukum tersebut tidak cocok ditempat B. Seperti yang dilakukan oleh Imam As-Syafi’i, yang kita kenal dengan Qaul Qadim ketika beliau di Iraq dan Qaul Jadid ketika di Mesir.
  3. Kecondongan hati dalam menilai suatu dalil. Seperti satu hadits menurut imam fulan lebih kuat dibanding hadits yang lain disisi imam yang lain.
  4. Dan masih banyak lagi, seperti suatu imam mendahulukan Hadits Ahad dibandingkan dengan yang lain dan begitulah seterusnya. Semuanya akan membawa konsekwensi yang berbeda yang membawa kepada perbedaan.

Pertanyaan sekarang adalah apakah berbeda pendapat itu dapat dikatakan bahwa ia merupakan rahmat bagi umat Islam? Tentunya jawaban atas hal ini selalu dilandaskan kepada sebuah hadits yang amat masyhur, yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat itu adalah rahmat. Mungkin, sedikit penulis ingin mengulas tentang hadits tersebut dan kualitasnya. Hadist tersebut berbunyi:


اِخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat.”

Hadits dengan redaksi seperti ini sebagai yang disebutkan Imam as Suyuthy dalam bukunya: Ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah dan Al-Jami’ as-shoghir fi Ahadits al basyir an-Nazir diriwayatkan oleh Syaikh Nashr al-Maqdisiy di dalam kitabnya “al-Hujjah” dan al-Baihaqiy di dalam kitabnya “Ar-risalah Al-asy’ariyah” tanpa sanad. Dan perlu diketahui bahwa untuk menilai suatu hadis tersebut shoheh atau tidaknya yang pertama dikaji adalah sanad hadits (jalur transmisi hadits) dan setelah itu matan hadist.

Penahqiq (analis) buku Ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahadits al-Musytahirah, yaitu Syaikh Muhammad Lutfi ash-Shabbagh memberikan komentar: “Hadits ini kualitasnya Dha’îf (Lemah). As-Syaikh al-Albany dalam kitabnya Dha'if al-Jami’ (hadist no: 230) dan Silsilah al-Ahadits adha’ifah (hadits no: 57) mengatakan: (hadits ini) La ashla lahu (tidak diketahui sumbernya). Imam as-Sakhawi dalam kitabnya Faydl al-Qadir, jld.I, h.209-212, menukil pendapat imam as-Subki, beliau berkata: “(Hadits ini) tidak dikenal di kalangan para ulama hadits dan saya tidak mengetahui ada sanad yang shahih, dla’if atau mawdlu’ mengenainya.”

Menurut Syaikh Muhammad Luthfi “Perbedaan pendapat itu bukanlah rahmat tetapi bencana akan tetapi ia merupakan hal yang tidak bisa dihindari sehingga yang dituntut adalah selalu berada di dalam koridor syari’at dan tidak menjadi sebab perpecahan, perselisihan dan perang”.
Sekarang dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan dalam masalah furu’iyyah adalah suatu keniscayaan dan mustahil hal tersebut bisa disatukan dan akan mengurangi nature agama Islam itu sendiri.

Tugas kita selanjutnya sebagai manusia akademis adalah menerangkan kepada masyarakat awam yang ngamuk karena ta’asub/panatik kepada mazhab tertentu, kelompok, kiyai, guru, tokoh dll, bahwa anda bisa berbeda pendapat tanpa harus bermasam muka, tonjok-tonjokkan. Pada dasarnya, ini cuma masalah sikap kita dalam menanggapi perbedaan dan keragaman, jangan sampai dalam menyikapi perbedaan itu anda memutuskan hubungan silaturrahmi yang disebabkan hanya masalah perbedaan yang tidak terlalu mendasar karena silaturrahmi merupakan hal yang sangat dianjurkan dalam Islam itu sendiri. Wallahuallam bhishowab.

Sunday

Madrasah Rasulallah SWT: Prototype Pembentukan Ummat


Sebuah bangunan yang kokoh tentu tidak berdiri dengan sendirinya, pasti telah melalui sebuah proses yang panjang dan melelahkan. Mulai dari proses mengali lobang tempat berdirinya pondasi bangunan sampai penyusunan batu bata, menancapkan besi, dan pengecoran semen. Proses tersebut dilakukan agar pondasi bangunan menjadi kuat, tidak mudah rusak oleh gempa bumi, terpaan angin atau badai yang datang dengan tiba-tiba. Penanaman pondasi yang asal-asalan sudah tentu bangunan akan cepat rusak, mudah roboh walaupun yang datang hanya angin sepoi-sepoi.

Sebagai mana bagunan yang kokoh memerlukan penanaman pondasi yang kuat, sama halnya dengan pembentukan ummat, ianya memerlukan kepada penanaman pondasi (baca: ‘aqidah, iman dan akhlak) yang kuat agar tidak mudah goyah dengan gemerlapnya kehidupan dunia dan godaan-godaan yang datang silih berganti. Begitu juga dengan melahirkan rijaludda’wah yang mengikrarkan ubudiyyahnya hanya kepada Allah SWT tidak semudah membalik telapak tangan, akan tetapi memerlukan pengorbanan, kesabaran, waktu yang panjang serta komitmen yang berkesinambungan.

Paling tidak ada tiga tahapan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam membentuk masyarakat ketika di Makkah: Pertama: Tahap pembangunan ‘Aqidah. ‘Aqidah merupakan yang pertama dan utama dalam pembentukan syakhsiyyah Islamiyyah dan ‘Aqidah juga yang akan membetulkan segala tindak-tanduk seseorang berikutnya. Kedua: Tahap mempraktekkan Iman dalam kehidupan sehari-hari “Iman bukanlah dengan angan-angan, tetapi ia adalah apa yang bertahta di hati dan dibuktikan dengan perbuatan”. Ketiga: Hijrah, tahap mempraktekkan ideologi dalam kehidupan bernegara. Hal itu ditandai dengan hijrahnya Rasulallah SAW bersama para sahabat ke Madinah Al-Munawwarah untuk mendirikan negara yang berdaulat.

Disamping memperkokoh tiga komponen diatas, baginda juga melakukan penanaman mafaahim; bahwa agama Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, tidak ada satu persoalanpun yang menyangkut kehidupan manusia yang tidak diatur oleh Islam, baik yang berkaitan dengan hukum ataupun yang menyangkut masalah ‘aqidah, ibadah, politik, ekonomi, peperangan, perdamaian, perundang-undangan dan semua konsep hidup manusia. Dan Barang siapa yang memilih agama selain agama Islam maka mereka termasuk golongan orang-orang yang merugi (QS. 3:85).

Model berda’wah yang dilakukan oleh Rasulallah SAW melalui proses pembinaan para sahabat tersebut membuahkan hasil yang luar biasa. Disana sederet nama-nama para sahabat yang diabadikan oleh sejarah, tingkat keimanan mereka telah teruji. Sebut saja misalnya: keluarga Ammar bin Yasir yang mendapat gelar awwalussyahid fil Islam. Bilal bin Rabah yang disiksa oleh Abu sofiyan dengan meletakan batu besar diatas dadanya dipadang pasir yang panas. Abu Bakar As-Siddiq yang menemani Rasul ketika di Gua Tsur. Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang sangup tidur ditempat tidurnya Rasulullah SAW ketika para kafir Quraish ingin membunuh baginda, padahal resiko yang dihadapi oleh saidina Ali adalah maut. Mereka semuanya (Radiyaallahu ‘anhum ajmaain) adalah produk binaan Rasulullah yang tingkat militansinya sudah teruji, maka kita kenal mereka dengan generasi Al-Quran yang unik yang memiliki ‘aqidah salimah, ibadah shohihah, akhlak yang baik serta mafaahim yang terarah.

Proses pembinaan yang lakukan oleh Rasulallah SAW di Darul Al-Arqam itu, mengambarkan bahwa untuk melahirkan generasi yang tangguh dan tahan banting perlu melakukan sebuah proses pembinaan untuk menyatukan misi dan visi dalam berda’wah, karena kalau tidak, biasanya banyak hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi. Misalnya: saling menjatuhkan, tidak siap dipimpin oleh orang lain, berkelahi sesama sendiri dalam masalah-masalah yang sepele dll. Secara zahir bersatu tapi sebenarnya hati-hati mereka bercerai berai “Tahsabuhum jamii’an wa Quluubuhum Syatta”(QS. 59:14). Disinilah sebenarnya letak pentingnya penyatuan visi dan misi ketika ingin melakukan perkerja-pekerjaan besar semacam pergerakan da’wah. Proses pembinaan dilakukan agar ada sifat ta’aaruf, tafaahum dan takaaful dalam diri tiap-tiap individu, sehingga dari situ lahirlah ribathul quluub yang kuat diantara sesama.

Prototype (model) pembentukan ummat yang dipelopori oleh Rasulallah SAW ini, sekarang banyak diikuti oleh pergerakan-pergerakan da’wah di dunia hari ini karena hasilnya yang luar biasa, mampu mencetak generasi da’wah yang kuat, tangguh dan tetap konsisten dalam menjalankan perintah-perintah Allah SWT. Siap bekorban demi mempertahankan Islam sebagai Agama dan ideologi, serta menjadikan Islam sebagai manhaj hayah dalam kehidupan bermasyarakat[]

"Yaa Ilahi Antal maqshudi wa ridhaka mathlubi".
Wallahu ‘allam Bishowab.


Friday

Gurindam


Seseorang yang tajam pemikirannya, luas pengalaman dan senantiasa berpijak pada kenyataan, sangat menyadari bahwa tidak ada gunanya perkataan jika tidak disertakan dengan berbuatan dan tidak ada gunanya kepintaran jika tidak disertai dengan budi.

Ahli-ahli filsafat seringkali mengingatkan, tidak ada gunanya kepintaran jika tidak disertakan dengan budi. Juga, tidak ada gunanya kejujuran kalau tidak sangup memegang janji dan tidak gunanya negeri yang makmur kalau hati rakyatnya penuh dengan kekecewaan.

Para cendikiawan juga berkata, setiap insan yang hidup akan bahagia jika ia tidak mengerti betapa kehidupan harus memberi manfaat kepada rohani, jasmani, dan kepada masyarakat (khairunnas ‘anfa ‘uhum linnas). Hidup yang berkah adalah hidup yang diridhoi oleh Allah.

Ungkapan Al-Quran, hadits Nabi dan ahli pemikir Islam juga banyak menekankan hakikat orang mukmin adalah saudara orang mukmin, hormat menghormati dan saling menghargai antara satu dengan yang lain.

Kita juga sering mendengar pepatah Melayu kuno, mufakat adat duduk berdekatan, dekat rumah dekat kampung, boleh pinta meminta, sakit pening jenguk menjenguk, seperigi sepermandian, sehalaman sepermainan, tanahnya datar airnya jernih, mufakatnya membawa esa.

Tapi aneh! Kata-kata hikmah dan pepatah yang sering disebut-sebut dan dimegah-megahkan itu amat sukar menjadi kenyataan. Realita ini sangat jelas sekali dikalangan manusia yang mengaku paling halus bahasa dan paling unggul budi dan budaya.

Thursday

Cintaku Pada Mu


Ya Allah.....
Aku telah meletakkan dan memberikan sepenuhnya hati ini kepadaMu untuk dilindungi daripada segala kejahatan yang akan merusak kemuliaannya.

Ya Rabby.....

Seandainya hati ini ingin Kau berikan kepada makhluk ciptaanMu, berikanlah kepada khalifahMu yang turut mencintaiMu supaya hatiku tidak pernah berhenti daripada berzikir kepadaMu dan rahmatilah diriku dengan limpahan kasih sayangMu... ya Allah.

Ya Allah....
Jika aku jatuh cinta, cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya padaMu, agar bertambah kekuatanku untuk menyintaiMu.

Ya Muhaimin.....
Jika hatiku selalu bergetar, izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya berpaut padaMu agar tidak aku terjerumus dalam jurang cinta nafsu...

Ya Rabbana......
Jika aku jatuh hati jagalah hatiku agar tidak berpaling dari Mu.....

Ya Rabbul Izzati.......
Jika aku rindu, rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan Mu....

Ya Allah.......
Jika aku menikmati cinta kekasihMu janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirMu.

Ya Allah......
Jika aku jatuh hati pada kekasihMu jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepadaMu..

Ya Allah......
Jika Kau halalkan aku merindui kekasihMu jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya kepadaMu...


Ya Rabbana..... Taqabbal minna Innaka antas sami’ul Alim watub Alaina Innaka anta tauwwaburrahim, birahmatika ya Arhamar Rahimin....Amin Yarabbal alamin.....

“Aku mencintaimu kerana agama yang ada padamu.
Jika kau hilangkan agama daripada dirimu,
hilanglah cintaku padamu”

Wednesday

Kunci-kunci Rezeki Menurut Al-Qur’an dan As-sunnah


Resensi Buku

Judul buku : Mafaatihul Rizq fi Daw’ Al-Kitab wa Al-Sunnah
Pengarang : DR. Fadl-ul-Ilahi.
Tebal : 104 Halaman
Ukuran : 12 X 17 Cm
Penerbit : Darul Al-Jarisi, Jeddah.
Cetakan : IIV (1998)

“Berpegang teguh dengan ajaran Islam di era globalisasi seperti sekarang ini akan menyulitkan rezeki. Kalau ingin hidup dengan senang dan memperolehi harta yang banyak, harus memejamkan mata dari aturan-aturan agama karena agama selalu menghalang dalam masalah mencari rezeki dengan mengharamkan ini dan mengharamkan itu lah. Pokoknya agama menyulitkan rezeki dan menghalang kemajuan”.

Keluhan atau ungkapan semacam ini sering kita dengar dari mulut orang awam yang tidak paham hakikat agama ini. Mereka menggangap agama adalah cuma melaksanakan praktek-praktek ritual saja seperti solat, zakat, haji, nikah dan urusan yang bersangkut paut dengan mati. pemahaman seperti ini sudah lama berkembang dalam masyarakat kita sampai hari ini.

Islam adalah agama yang menyeimbangkan perhatian antara kebutuhan duniawi dan kebutuhan ukhrawi, dengan menjadikan dunia ini sebagai ladang atau ruang aktifitas untuk mendapatkan bekal akhirat. Tidak ada pemisahan antara urusan dunia dan urusan akhirat. Semua yang telah dikerjakan manusia di dunia ini akan dipertangungjawabkan di akhirat nanti, dan semua yang dibutuhkan diakhirat nanti hanya bisa dipersiapkan didunia ini. Dua keterikataan ini menuntut proporsi keseimbangan perhatian yang mensejahterakan keduanya. Tidak akan pernah dicapai sa’adah (kebahagiaan) duniawi tanpa memperhatikan demensi ukhrawi, sebagaimana tidak akan pernah ada sa’adah ukhrawi jika tidak dipersiapkan sejak dialam dunia ini.

Begitulah pengarang buku ini memulai pembahasanya dengan menceritakan keadaan masyarakat umat islam hari ini yang selalu risau terhadap kekurang dan kesusahan dalam mencari rezeki. Dalam buku ini pengarang mencoba mengetangahkan kepada kita semua sumber-sumber rezeki yang telah dilupakan oleh masyarakat hari ini.

Pengarang membagikan buku ini kepada sepuluh mathlab (tuntutan) agama yang apabila kita kerjakan Insya Allah ianya akan membuka pintu-pintu rezeki kita dengan yang tidak disangka-sangka.

Sebelum memulai pembahasan ditiap-tiap tuntutan, terlebih dahulu pengarang menerangkan hakikat dari tuntutan tersebut dan setelah itu beliau mengetengahkan dalil-dalil dari Qur’an dan sunnah serta pendapat para ulama’ tentang tuntutan yang terkait menjadi sebab dibukanya pintu rezeki oleh Allah SWT.

Sebagai contoh kita lihat di tuntutan yang pertama yaitu Istighfar dan taubah. Banyak orang mengangap bahwa istighfar dan taubah hanya dengan ucapan “Ashtaghfurullahal Azdhim wa atubu ilaihi” ucapan ini sama sekali tidak akan memberi bekas kepada pelakunya kalau tidak disertai dengan syarat-syarat taubah yang telah digariskan oleh agama dan ianya termasuk dari perbuatan orang yang pendusta terhadap agama.

Seperti yang dikatakan oleh imam Nawawi, taubah mempunyai tiga syarat pokok. Pertama: meninggalkan maksiat yang telah dilakukan. Kedua: hendaklah menyesal atas dosa yang telah dilakukan. Ketiga: bercita-cita untuk tidak mengulanginya kesalah yang sama di masa akan datang. Kurang salah satu dari tiga syarat tersebut maka taubat seseorang tidak akan diterima oleh Allah. (hal: 11-12).

Selanjutnya pengarang mengetengahkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan sunnah yang menjelaskan hakikat istighfar dan taubah yang menjadi sebab dibukanya pintu-pintu rezeki. Seperti firman Allah SWT dalam surah Nuh ayat 10-12, surah Hud ayat 3 dan 52. Dalil dari sunnah seperti hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA “Barang siapa memperbanyak Istighfar maka Allah akan menjadikan setiap kesulitan jalan keluar dan setiap kesempitan akan mengantikan dengan keluasan, serta memberikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangkakan” (HR Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Nisa’i, dan Hakim).

Kalau kita lihat dari segi keilmiahan, buku ini memenuhi standar penulisan ilmiah dan hal ini terlihat jelas dari semua hadits-hadits yang dikutip oleh pengarang berasal dari sumber aslinya serta mentakhrijkanya (kembali kepada sumber asal) dari semua kitab-kitab hadits yang ada. Beliau juga mengutip Qaulul ulama’ (pendapat para ulama’) serta mengulasnya dengan cara yang sangat sistematis dan dengan gaya bahasa yang mudah untuk dipahami oleh semua orang.

Dan yang perlu di pahami adalah rezeki dan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Menggantungkan rezeki semata-mata pada pekerjaan yang kita lakukan adalah kesalahan, sebagai mana Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi telah memperingatkan dalam bukunya “Rezeki” (Gema Insani Press, 1995) Allah maha luas rezeki-Nya. Mengantungkan rezeki semata-mata pada pekerjaan yang kita lakukan sama dengan mempersempit pintu rezeki, padahal Allah membukanya lebar-lebar untuk kita. Akan tetapi mengharapkan rezeki dari Allah tanpa mau memeras keringat dengan kerja yang meletihkan, sama halnya dengan mengangap sepi nasihat Nabi Saw. “sesungguhnya, bekerja mencari rezeki yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah-ibadah fardu” (HR At-tabrabi dan Baihaqi). Barang kali, hadits diataslah yang menginspirasi rakyat Pakistan sehingga mencantumkan makna hadits ini disetiap uang kertas mereka “Husule rizq halal ibadat hay”.

Kesulitan demi kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat dalam masalah mencari rezeki menjadikan mereka mengkambinghitamkan agama dan hal ini sangat berbahaya sekali karena pada akhirnya nanti masyarakat akan anti pada agama.

Pemahaman ini harus disampaikan kepada masyarakat luas. Tanpa itu maka jangan heran kalau orang Islam sendiri akan anti kepada Islam karena gara-gara mereka berangapan “aturan agama menyulitkan untuk memperoleh rezeki”. Para da’i harus andil dalam hal ini, karena dakwah adalah pekerjaan mempengaruhi, sementara dalam “kacamata” masyarakat orang kaya lebih mudah berpengaruh jika dibandingkan dengan orang miskin. Maka sebagai seorang calon da’i kita harus pandai untuk mencari jalan dan solusi dalam memudahkan mereka dalam mencari rezeki. Setelah kita memenuhi kebutuhan mereka barulah mereka akan mendengar nasehat-nasehat agama yang kita sampaikan.

Praktik-praktik semacam ini adalah cara-cara yang paling berhasil yang pernah dilakukan oleh para misionaris Kristen dalam memurtadkan umat islam ditanah air. @Wallahu ‘alam bishowab.




Friday

Pribadi



Bebanmu akan berat
Jiwamu harus kuat
Tapi aku percaya........
Langkahmu akan jaya
Tegakkan budimu
Kuatkan pribadimu. (Hamka)

Secara sekilas ada sesuatu yang ingin Buya Hamka sampaikan dalam bait-bait diatas. Beliau ingin mengingatkan kepada kita bahwa beban perjalanan hidup ini amat berat untuk dipikul karena onak dan duri akan selalu menghalang setiap langkah dalam kehidupan ini. Langkahmu akan kuat dan mantap apabila memiliki kepribadian yang kuat dan budi yang luhur.

Kepribadian adalah inner beauty bagi insan yang bernama manusia, karena dengan kepribadian seseorang siapapun dapat menilai baik dan buruknya. Saking pentingnya pribadi itu, dalam memilih pasangan hidup pun seseorang akan mencari dan meneliti pribadi-pribadi yang baik (sholeh/sholehah). Begitulah tabiat manusia yang selalu condong kepada yang baik dan menarik walaupun sebenarnya diri sendiri tidak baik. Tapi istri “saya” harus orang baik. Adalah suatu ketidakadilan jika kita menuntut orang lain berbuat baik sedangkan kita sendiri tidak baik. Maka yakinlah dengan janji Allah subhanahu wataala, bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula. Disinilah letak pentingnya pribadi itu.

Sebagai manusia biasa, kita harus ingat bahwa hakikat manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wataala terdiri dari jasad dan roh. Kedua-duanya harus diberikan keseimbangan yang sama dan merata, bukan hanya mempercantik diri dengan pakaian dan barang-barang yang bermerek internasional saja, tetapi lebih dari itu kita juga dituntut untuk mempercantik pribadi (akhlaq) yang merupakan barometer dalam pergaulan ditengah-tengah masyarakat (ta’amul fil al-mujtama). sebenarnya inilah rahasia dibalik kejayaan Rasulallah Shallahu Alaihi wasalam ketika beliau diutuskan oleh Allah swt keatas bumi ini “Innama bu’tstu liuttamima makarimal akhlaq” sesungguhnya aku (Muhammad) diutuskan untuk menyempurnakan akhlaq.

Banyak tipe pribadi yang kita jumpai dalam pergaulan sehari-hari. Ada orang yang selalu membangakan diri dengan kelebihan yang dimiliki, sombong dan mengecilkan peran orang lain. Dan ada juga tipe orang yang menjodoh-jodohkan orang lain. Sipulan ini cocoknya dengan sipulanah. Sianu cocoknya dengan sipulan. Budaya semacam ini seharusnya tidak terjadi karena belum tentu orang yang kita jodoh-jodohkan itu suka dan senang dengan sikap tersebut. Tapi malang seribu kali malang hal itu terjadi. Dan tanpa diketahui dan disadari dampak dari perbuatan tersebut masyarakat menjauh darinya dan tidak mau berkawan karena takut dengan sikap dia yang kurang berhati-hati tadi. Orang lain akan hilang ketsiqohannya karena ulah dan perbuatannya yang tidak terpuji itu yang akibatnya merugikan diri sendiri.

Tipe lain, ada orang yang membangakan diri bahwa dia anak pulan, keluarga pulan.….apalah artinya kalau sekiranya orang menghormatinya atau segan kepadanya hanya karena dia anak si pulan, keluarga sipulan, menantu sipulan dan murid sipulan. Bukan karena pribadi sendiri. Inilah yang dinamakan oleh orang benalu, yang hidup bukan dari pohon sendiri akan tetapi hidup diatas pohon yang lain. Apabila pohon mati maka benalu juga akan mati. Dalam pepatah Arab disebutkan:


ليس الفتى من قال كان أبي # ولكن فتى من قال هذا أنا

Bukanlah seorang pemuda yang mengatakan “dulu bapak saya begini dan begitu”, akan tetapi seorang pemuda adalah barang siapa yang mengatakan inilah saya.

Rasa sombong dan membangakan diri merupakan penyakit yang harus disembuhkan, kalau tidak akan memberi dampak yang negatif kepada penderita penyakit tersebut. Untuk menghilang penyakit sombong dalam diri cobalah sekali-sekali mencuci piring didapur setelah program usai, bersihkan dan rapikan tempat-tempat yang telah digunakan, jangan sekali-kali punya pikiran “nyuci piringkan bukan pekerjaan saya”, justru dengan berkata demikian akan ada rasa sombong dalam diri. Rasulallah Sallalahu Alaihi Wassalam pernah mencontohkan kepada para sahabatnya. Ketika sedang beristirahat dalam satu perjalanan yang melelahkan. Rasulallah Sallalahu Alaihi Wassalam membagi para sahabat untuk menyiapkan makanan, tapi sebelum itu Nabi Sallalahu Alaihi Wassalam menawarkan kepada sahabat: “siapa yang mencari air, saya kata salah seorang sahabat. Lalu siapa yang menyiapkan alat2 masak? saya kata sahabat yang lain. Setelah semuanya mendapat pekerjaan lalu Rasulallah Sallalahu Alaihi Wassalam berkata “saya sendiri akan mengumpulkan kayu bakarnya. Inilah contoh pribadi yang baik dan jauh dari kesombongan. Kalaulah orang lain yang berada diposisi Nabi ketika itu niscaya orang tersebut hanya mengatur dan tidak berbuat apa-apa.

Dan yang kedua untuk mengikis rasa kesombongan dalam diri adalah dengan cara merendah diri, jadilah seperti bintang-gemintang yang berkilau apabila dipandang orang. Janganlah seperti asap yang mengangkat diri tinggi di langit padahal dirinya rendah-hina.

Sifat mengalah, toleransi, saling hormat menghormati – walaupun bukan dari kelompok sendiri, pintar mengasuh dan bergaul dengan siapa saja – selagi menjaga batas-batas yang wajar – adalah diantara beberapa sifat pribadi yang baik untuk dilestarikan dalam kehidupan kita sehari-hari karena kepribadian yang baik itu adalah mahal harganya dan tidak semua orang memilikinya. Begitu juga dalam menilai orang lain, kita tidak cukup hanya melihat dari segi zahirnya saja akan tetapi lihatlah dari seluruh aspek agar kita tidak salah. Makanya indah sekali perumpamaan yang diberikan oleh Buya Hamka – dalam salah satu tulisanya:

“Dua puluh ekor kerbau pedati yang sama-sama gemuknya, sama kuatnya, sama pula pandainya menghela pedatinya, tentu harganya pun tidak jauh beda antara satu sama lain. Tetapi duapuluh orang manusia yang sama tingginya, sama kuatnya, belum tentu sama “harganya”. Sebab bagi kerbau tubuhnya yang berharga. Bagi manusia pribadinya”.

Beruntunglah orang-orang yang menitik beratkan dan mengambil perhatian terhadap dirinya untuk membangun pribadi-pribadi yang baik ditengah zaman yang lebih mementingkan kecantikan luar daripada kecantikan pribadi. Wallahu Alam Bhisowab.

Islam Is The Solution


Ketika sedang asyik membaca koran di depan hostel satu IIU Islambad tentang astronot China “Yang Liwei” yang telah selamat sampai dari ruang angkasa, tiba-tiba teman akrab penulis menegur “Madza Taqra’ Ya Akhi?”. Dengan mata yang masih meneliti bait-bait di koran The News International, penulis menjawab: Kita umat islam masih terbelakang, coba lihat Cina yang masih tergolong negara ke tiga, sudah bisa sampai ke ruang angkasa. Tapi kita umat Islam, sampai hari ini masih ikhtilaf dalam menentukan awal bulan suci Ramadhan di zaman tehnologi yang begitu janggih. Mendengar komentar tersebut, teman akrab penulis menjawab “Sebenarnya masalah yang dihadapi umat Islam hari ini bersumber dari perbuatan mereka sendiri. Amanat yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada umat ini telah diabaikan. Baik itu amanat iman, amanat ibadah, dan amanat kepemimpinan. Oleh sebab itu, kita umat Islam banyak menghadapi kesusahan dan kemungkaran di dunia ini”.
Penulis yang dari tadi mendengar argumen yang diberikan teman tersebut, lantas bertanya “Coba anda terangkan lebih detail lagi kepada saya tentang amanat yang telah diabaikan oleh umat Islam tersebut”.

Sambil duduk disamping penulis, teman ini menjawab. Pertama, Amanat ibadah. Umat Islam hari ini telah melalaikan amanat ibadah yang telah Allah SWT wajibkan kepada umat ini. Sambil membenahi tempat duduknya dia berkata: Jangan jauh-jauh kita mengambil contoh, lihat saja di lingkungan kita sendiri, dari kamar yang berjumlah ratusan, yang aktif shalat subuh berjamaah di masjid hanya segelintir saja. Lalu ke mana yang lain?

Kedua, amanat kepemimpinan. Coba anda lihat pemimpin umat Islam hari ini. Mereka kebanyakan munafiq dalam kepemimpinannya. Bukannya membela hak-hak orang Islam, tetapi malah membantu musuh-musuh Islam menghancurkan umat Islam itu sendiri. Dulu, dalam peperangan qadsiyah ketika seorang wanita muslimah diganggu oleh seorang kafir dan berita itu sampai ke telinga Khalifah, spontan Khalifah mengirim pasukan untuk menyerang kaum kafir tersebut. Dari sini terlihat, betapa tingginya izzah Islam ketika itu. Tapi apa yang kita saksikan pada hari ini, beribu-ribu umat Islam yang mati demi mempertahankan hak-haknya, akan tetapi pembelaan itu malah dituduh menghianati agamanya sendiri atau dengan bahasa kerennya ‘mereka adalah terorist’.

Ketiga, amanat iman. Amanat inilah yang paling parah dan telah dilupakan oleh umat Islam. Walaupun kita tahu, iman akan bertambah dengan perbuatan terpuji dan bisa berkurang karena perbuatan keji pula. Tetapi kita masih saja tidak menjaga iman tersebut. Karena lemahnya iman kita, maka mudah diombang-ambing oleh musuh Islam”.

Penulis yang dari tadi mendengar argumen yang diberikan, lalu bertanya, “Apa solusinya agar umat Islam supaya bisa kembali ke zaman kegemilangnya?” Beliau menjawab sambil mengutip perkataan Imam Syafi’i Rahimahullah: “Umat ini tidak akan kembali kegemilangannya, kecuali mereka mengikuti langkah-langkah umat terdahulu (Salafus Saleh). Dan dia juga membaca hadits Nabi SAW, yang artinya:

“Akan datang suatu zaman kepada umatku, orang yang sabar terhadap agamanya (Islam) seperti seseorang menggenggam bara api”.

Lalu dia menambahkan, sabar di sini dalam arti tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama Islam dengan apa pun yang terjadi. Karena dengan agama Islamlah umat ini akan selamat.

Percayalah dengan Islam, kerena Islam sama sekali tidak menyulitkan kita, baik dari segi pembangunan ataupun kemajuan lainnya. Jadi kita harus yakin bahwa “Islam is the solution for all problems”. Wallahu A’lam.[]

Abdul Kholiq Saman
www.nupakistan.or.id/opini/httm.

Thursday

Orang-orang Romantis

oleh: Anis Matta, Lc

Qais sebenarnya tidak harus bunuh diri. Hidup tetap bisa dilanjutkan tanpa Layla. Tapi itulah masalahnya. Ia tak sanggup. Ia menyerah. Hidup tak lagi berarti baginya tanpa Layla. Ia memang tidak minum racun. Atau gantung diri. Atau memutus urat nadinya. Tapi ia
membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sampai nafas terakhir. Tidak bunuh diri. Tapi jalannya seperti itu.

Orang-orang romantis selalu begitu: rapuh. Bukan karena romantis mengharuskan mereka rapuh. Tapi di dalam jiwa mereka ada bias besar. Mereka punya jiwa yang halus. Tetapi kehalusan itu berbaur dengan kelemahan. Dan itu bukan kombinasi yang bagus. Sebab batasnya jadi kabur: kehalusan dan kelemahan jadi tampak sama. Qais lelaki yang halus. Sekaligus lemah.
Kombinasi begini membuat banyak orang-orang romantis jadi sangat rapuh. Apalagi saat-saat menghadapi badai kehidupan. Misalnya ketika mereka harus berpisah untuk sebuah pertempuran. Maka cinta dan perang selalu hadir sebagai momen paling melankolik bagi orang-orang romantis. Mengerikan. Tapi tak terhindarkan. Berdarah-darah. Tapi tak terelakkan. Itu dunia orang-orang jahat. Dan orang-orang romantis hanya datang kesana sebagai korban.

Begitu ruang kehidupan direduksi hanya ke dalam kehidupan mereka berdua dunia tampak sangat buruk dengan perang. Tapi kehidupan punya jalannya sendiri. Ada kaidah yang mengaturnya. Dan perang adalah niscaya dalam aturan itu. Maka terbentanglah medan konflik yang rumit dalam batin mereka. Dan orang-orang romantis yang rapuh selalu kalah. Itu sebabnya Allah mengancam orang-orang beriman: kalau mereka mencintai istri-istri mereka lebih dari cinta mereka kepada jihad, maka Allah pasti punya urusan dengan mereka.

Tapi inilah persoalan inti dalam ruang cinta jiwa. Jika cinta jiwa ini berdiri sendiri, dilepas sama sekali dari misi yang lebih besar, maka jalannya memang biasanya ke sana: romantisme biasanya mengharuskan mereka mereduksi kehidupan hanya kedalam ruang kehidupan mereka berdua saja, karena di sana dunia seluruhnya hanya damai, di sana mereka bisa menyembunyikan kerapuhan atas nama kehalusan dan kelembutan jiwa. Itu sebabnya cinta jiwa selalu membutuhkan pelurusan dan pemaknaan dengan menyatukannya dengan cinta misi. Dari situ cinta jiwa menemukan keterarahan dan juga sumber energi. Dan hanya itu yang memungkinkan romantisme dikombinasi dengan kekuatan jiwa. Maka orang-orang romantis
itu tetap dalam kehalusan jiwanya sebagai pecinta, tapi dengan kekuatan jiwa yang tidak memungkinkan mereka menjadi korban karena rapuh.

Ketika kabar syahidnya syekh Abdullah Azzam disampaikan kepada istri beliau, janda itu hanya menjawab enteng, " Alhamdulillah, sekarang dia mungkin sudah bersenang-senang dengan para bidadari."

sumber: Majalah Tarbawi, Oktober 16, 2006

Jangan Bedakan Ilmu Pengetahuan

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa menuntut ilmu pengetahuan adalah wajib hukumnya, baik itu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Ad-din (baca: Akhirat) maupun ilmu-ilmu yang ada hubunganya dengan dunia dan jangan sampai membedakan diantara kedua ilmu tersebut.

Cuma yang harus kita prioritaskan terlebih dahulu adalah ilmu-ilmu yang menyangkut dengan urusan-urusan keagamaan, yaitu ilmu Tauhid (akidah), Fiqih (ibadah-syariah), akhlak (tata krama). Karena ketiga disiplin keilmuan ini merupakan hal yang sangat fundamental dalam agama kita. Tanpa mengetahui ilmu tauhid tidak mungkin seseorang itu dikatakan seorang muslim yang sempurna karna semua taklimat yang tertuang dalam ilmu ini menyangkut dengan masalah keimanan dan ketauhidan terhadap Allah SWT dan itu merupakan perkara pertama yang patut diketahui oleh setiap muslim. Dan begitu juga dengan ilmu fiqih, tanpa memahami ilmu fiqih dengan baik maka semua praktek-praktek keagamaan menjadi tidak sempurna, baik itu dari segi bersuci/thaharah, sembahyang dan hal-hal lainya yang menyangkut dengan masalah ibadah.

Setelah memahamai ketiga disiplin keilmuan tersebut diatas barulah kita mempelajari ilmu-ilmu yang sifatnya fardu kifayah yaitu ilmu-ilmu yang fungsinya sebagai pelengkap untuk menyempurnakan amal ibadah serta keimanan kita, bahkan dalam situasi dan kondisi tertentu mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat fardu kifayah itu menjadi wajib hukumnya dalam mencapai maslahah-maslahah yang terjadi di dalam masyarakat.

Namun yang menyedihkan kita hari ini adalah orang-orang yang berkecimpung dalam mempelajari ilmu-ilmu keduniaan, mereka melupakan bahkan tidak mengambil berat terhadap ilmu-ilmu agama yang sifatnya sangat fundamental sehingga lahirlah di tengah-tengah masyarakat orang yang berilmu, akan tapi lemah dari segi keimanan terhadap Allah swt. Begitu pula sebaliknya orang-orang yang mempelajari ilmu agama membenci ilmu-ilmu yang bersifat keduniaan dengan alasan tidak banyak memberi faedah dan maslahah di akhirat kelak. Kalaulah semuanya sadar dan mau berfikir secara matang, sebenarnya diantara kedua disiplin keilmuan itu tidaklah saling kontradiksi antara satu dengan yang lain karena kita sekarang hidup di dunia, maka untuk menjalani kehidupan ini, kita membutuhkan ilmu-ilmu yang ada hubungan dengan keduniaan itu sendiri. Jadi dengan kata lain, mana mungkin kedua hal ini dapat kita pisahkan satu sama lain!!

Nah, sekarang marilah kita sama-sama mengikis cara berfikir yang penuh dengan kejumudan itu, demi melahirkan generasi yang berilmu dan beramal soleh yang seimbang dunia dan akhirat dengan cara menggabungkan kedua disiplin keilmuan yang ada tanpa membedakan diantara keduanya.

Sebagi penutup, alangkah baiknya kita merenungi pepatah Arab yang berbunyi “ilmu yang tidak diamalkan seperti pohon yang tidak berbuah” karena Ilmu dan amal adalah dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan. Maka dari itu hendaklah kita mengamalkan ilmu yang telah kita perolehi dengan men-tathbiq-kannya dalam diri masing-masing terlebih dahulu dan seterusnya menyampaikan kepada orang lain. Jadilah syakhshiyah yang berilmu yang selalu mewarnai keadaan, jangan sampai menjadi orang yang diwarnai dan terwarnai dengan keadaan.

Allahumma Nauzubika min Ilmin la yanfa’ birah matika Ya Arhamarrahimin.
Wallahu ‘alam bissowab.

Wednesday

Menyikapi Perbedaan

Perbedaan pendapat merupakan sunnatullah di muka bumi ini, sebab banyak faktor kenapa manusia selalu berbeda. Mulai dari berbedanya alur pemikiran manusia itu sendiri sampai kepada pemahaman-pemahaman terhadap nash-nash Al-quran dan hadits yang sudah ada. Yang pasti perbedaan dan keragaman itu hal yang pasti yang sudah diciptakan oleh Allah melalui fenomena Alam. Sebab kalau Allah mau, Allah bisa buat seragam sehingga semuanya manusia menjadi makhluk beriman. Keragaman adalah kehendak Allah. Penyeragaman adalah penentangan terhadap kehendak itu. Penolakan terhadap perbedaan dan keragaman sama saja penolakan terhadap perbedaan kelamin! Masak sih anda maunya di dunia ini perempuan saja, tidak ada laki-lakinya. Susah dong, jika tidak boleh dikatakan mustahil bin tidak mungkin. Namun yang dituntut dari kita adalah bagaimana menyikapi perbedaan itu dengan baik dan bijak.

Secara umum, segala yang ada dalam Islam bisa dibagi dalam dua klasifikasi:
1. Sesuatu yang sudah fixed, tidak bergerak, statis dan kadang bersifat universal.
2. Ada yang masih bisa di “rubah”, dipengaruhi oleh kondisi ruang dan waktu.
Yang pertama, dalam terminologi disiplin keislaman, disebut dengan "ma'lum min al din bi al dharurah" yaitu sesuatu yang sudah fixed dan tidak bisa dirubah-rubah. Sebotak apapun anda jangan coba-coba untuk merubahnya, kecuali kalau anda mau dituduh nyeleneh, liberal, pluralis dan bahkan kafir dll. Termasuk dalam jenis ini adalah kewajiban shalat, kewajiban puasa Ramadhan dan beberapa hal lainnya yang mendasar.

Klasifikasi kedua adalah bahwa dalam Islam masih ada yang bisa di “rubah”, tidak harga mati. Dalam realitanya kalau anda baca buku-buku keislaman yang jumlahnya jutaan (kayak udah pernah ngitung aja !), anda akan sependapat dengan saya, bahwa kategori ini adalah kategori yang dominan dalam hukum Islam hingga saat ini. Bisa di “rubah” di sini disebabkan oleh, diantaranya:
1. Berbedanya akal fikiran dan kemampuan seseorang dalam meng-analisa suatu permasalahan yang timbul, baik yang berhubungan dengan nash-nash ayat Al-quran, Hadits maupun juga dengan tata bahasa arab itu sendiri.
2. Berbedanya lingkungan dimana seseorang tinggal, mungkin suatu hukum di tempat A bisa dipraktekkan, tapi hukum tersebut tidak cocok ditempat B. Seperti yang dilakukan oleh Imam As-Syafi’i, yang kita kenal dengan Qaul Qadim ketika beliau di Irak dan Qaul Jadid ketika di Mesir.
3. Kecondongan hati dalam menilai suatu dalil. Seperti satu hadits menurut imam fulan lebih kuat dibanding hadits yang lain disisi imam yang lain.
4. Dan masih banyak lagi, seperti suatu imam mendahulukan Hadits Ahad dibandingkan dengan yang lain dan begitulah seterusnya. Semuanya akan membawa konsekwensi yang berbeda yang membawa kepada perbedaan.

Pertanyaan sekarang adalah apakah berbeda pendapat itu dapat dikatakan bahwa ia merupakan rahmat bagi umat Islam? Tentunya jawaban atas hal ini selalu dilandaskan kepada sebuah hadits yang amat masyhur, yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat itu adalah rahmat. Mungkin, sedikit penulis ingin mengulas tentang hadits tersebut dan kualitasnya. Hadist tersebut berbunyi:
اِخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat.”
Hadits dengan redaksi seperti ini sebagai yang disebutkan Imam as Suyuthy dalam bukunya: Ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah dan Al-Jami’ as-shoghir fi Ahadits al basyir an-Nazir diriwayatkan oleh Syaikh Nashr al-Maqdisiy di dalam kitabnya “al-Hujjah” dan al-Baihaqiy di dalam kitabnya “Ar-risalah Al-asy’ariyah” tanpa sanad. Dan perlu diketahui bahwa untuk menilai suatu hadis tersebut shoheh atau tidaknya yang pertama dikaji adalah sanad hadits (jalur transmisi hadits) dan setelah itu matan hadist.

Penahqiq (analis) buku Ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahadits al-Musytahirah, yaitu Syaikh Muhammad Lutfi ash-Shabbagh memberikan komentar: “Hadits ini kualitasnya Dha’îf (Lemah). As-Syaikh al-Albany dalam kitabnya Dha,if al-Jami’ (hadist no: 230) dan Silsilah al-Ahadits adha’ifah (hadits no: 57) mengatakan: (hadits ini) La ashla lahu (tidak diketahui sumbernya). Imam as-Sakhawi dalam kitabnya Faydl al-Qadir, jld.I, h.209-212, menukil pendapat imam as-Subki, beliau berkata: “(Hadits ini) tidak dikenal di kalangan para ulama hadits dan saya tidak mengetahui ada sanad yang shahih, dla’if atau mawdlu’ mengenainya.”

Menurut Syaikh Muhammad Luthfi “Perbedaan pendapat itu bukanlah rahmat tetapi bencana akan tetapi ia merupakan hal yang tidak bisa dihindari sehingga yang dituntut adalah selalu berada di dalam koridor syari’at dan tidak menjadi sebab perpecahan, perselisihan dan perang”.
Sekarang dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan dalam masalah furu’iyyah adalah suatu keniscayaan dan mustahil hal tersebut bisa disatukan dan akan mengurangi nature agama Islam itu sendiri.Tugas kita selanjutnya sebagai manusia akademis adalah menerangkan kepada masyarakat awam yang ngamuk karena ta’asub/panatik kepada mazhab tertentu, kelompok, kiyai, guru, tokoh dll, bahwa anda bisa berbeda pendapat tanpa harus bermasam muka, tonjok-tonjokkan. Pada dasarnya, ini cuma masalah sikap kita dalam menanggapi perbedaan dan keragaman, jangan sampai dalam menyikapi perbedaan itu anda memutuskan hubungan silaturrahmi yang disebabkan hanya masalah perbedaan yang tidak terlalu mendasar karena silaturrahmi merupakan hal yang sangat dianjurkan dalam Islam itu sendiri. Wallahuallam bhishowab.

Faktor-faktor Kelemahan Ummat Islam

Muqaddimah

Setelah runtuhnya khilafah Usmaniyah di Turki pada tahun 1924 kekuatan ummat Islam semakin melemah, disebabkan ummat Islam terbagi kepada berberapa negara terpisah. Bahkan kini terbagi menjadi 57 negara Islam berdaulat, yang mana setiap negara tersebut memiliki wilayah teritorial tersendiri. Padahal pada mulanya, ummat Islam memiliki satu negara (baca: Khilafah) dibawah satu payung kepemimpinan.

Slogan-slogan yang digaungkan oleh sebagian ummat Islam beserta intelektualnya, seperti “Islam huwal hal”, “Mustaqbal Lil Islam”, “Islam is Solution” yang pada intinya mereka mempercayai agama Islam sebagai way of life. Tapi disamping itu, kita juga sering mendengar keluhan dan rasa pesimis dari ummat Islam yang lain terhadap kemunduran dan kejumudan yang terjadi di tubuh ummat ini dengan dalil bahwa “Islam itu lemah”, “Kita ketinggalan dari Barat”, “Rasanya tidak mungkin untuk mempraktekkan Islam pada zaman sekarang ini”.

Sebenarnya, ketika berbicara tentang kelemahan ummat Islam, maka kita harus dapat membedakan antara penganut agama Islam (baca: orang muslim) dengan Islam sebagai agama. Karena keduanya mempunyai perbedaan yang sangat jauh sekali. Salah dalam memahami kedua musthalahat ini akan mengakibatkan kesalahan besar dalam mentafsirkan hakikat makna dari kelemahan itu sendiri.

Islam sebagai agama sampai kapanpun akan kuat dan kekal, karena Islam memiliki manhaj yang jelas lagi terang dan tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan dari luar Islam. Dan penulis yakin, bahwa semua orang Islam mempercayai hal tersebut. Tapi lain halnya dengan istilah “Orang Islam”, mereka adalah orang-orang yang mengaku beragama Islam dan terlepas dari mengamalkan Islam itu sendiri baik dalam kehidupan sehari-hari atau sebaliknya. Yang jelas Islam sebagai agama, lepas dari tanggungjawab tersebut.

Nah, dalam makalah singkat ini Penulis ingin mendiskusikan hal tersebut dihadapan teman-teman semua, termasuk faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kelemahan ummat Islam? dan apa solusi yang terbaik untuk mengatasi kelemahan tersebut? sehingga untuk melangkah ke depan kita sudah mempunyai gambaran yang jelas dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

Definisi Kelemahan Ummat Islam

Kelemahan yang dimaksud di sini adalah suatu keadaan dalam masyarakat yang tidak diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya. Sehingga misi dan ajaran agama tidak berjalan sebagai mana mestinya.

Faktor-faktor Kelemahan Ummat Islam

Tidak diragukan lagi bahwa kekuatan ummat Islam berdiri di atas agama Islam itu sendiri. Hal ini juga sudah menjadi rahasia umum, bahkan musuh-musuh Islam juga tahu bahwa Islam itu sendiri tidak dapat dilemahkan jika penganut-penganutnya masih mempunyai keimanan yang kuat. Dari sini mulailah mereka mencari jalan dan cara yang terbaik bagaimana untuk melemahkan pemahaman orang Islam terhadap Islam itu sendiri. Tidak sampai disitu, mereka juga mencari jalan bagaimana memberi keraguan kepada kitab yang menjadi pegangan ummat Islam (baca: Al-Qur'an dan As-sunnah), dan mereka juga memutar belitkan fakta Sejarah dan Tsaqafah Islamiyah melalui berbagai opini dan tulisan, sehingga generasi ummat Islam berikutnya menjadi ragu atas keotentikan agama Islam itu sendiri.

Kalau kita mengkaji lebih dalam lagi tentang pergerakan orientalisme dan karya-karya mereka tentang Islam, maka kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa keganjilan-keganjilan yang diciptakan oleh mereka pada intinya untuk memberi keraguan kepada ummat Islam terhadap agama yang mereka anut, sehingga mengakibatkan ummat Islam pada saat ini banyak yang termakan racun orientalisme. Sebut saja misalnya, dalam sebuah seminar keIslaman yang diadakan oleh organisasi Islam di Yogyakarta, salah seorang pemakalah yang berfikiran liberal memegang Al-quran dengan kedua jarinya dan mengatakan “Siapa yang berani menjamin bahwa al-Quran yang saya pegang ini benar-benar berasal dari Allah SWT”1

Sebenarnya banyak faktor kenapa ummat Islam menjadi lemah seperti sekarang ini? Di antara penyebabnya adalah:

Kurang Memahami Agama Islam itu sendiri

Sebagian ummat Islam kurang memahami hakikat agama Islam itu sendiri. Ia cenderung dipahami sebatas ibadah-ibadah ritual saja. Seperti: sholat, zakat, puasa dan haji. Sedang permasalahan diluar hal tersebut dianggap bukan bagian dari Islam. Dan ada juga yang memahami agama ini dengan pemahaman ajaran Hindu yang meyakini bahwa hidup ini harus dijalani dengan serba kekurangan dan dalam keadaan susah. Artinya untuk mencapai suatu tingkat pemahaman agama yang benar, seseorang dituntut untuk bertapa atau bermeditasi dan menyendiri dari keramaian.

Hal ini menurut hemat penulis adalah pemahaman yang salah atas agama itu sendiri. Dalam sejarah, kita lihat Rasulallah shallalahu ‘alaihi wasalam pernah menyendiri (berkhalwat) di gua Hira untuk beberapa waktu, tetapi setelah wahyu turun, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasalam tidak pernah kembali lagi ke gua tersebut. Hal ini menunjukan bahwa hidup harus berbaur dengan masyarakat dan tidak boleh hidup menyendiri.
Pergerakan Kristenisasi

Percaya atau tidak, bahwasanya hakikat kelemahan ummat Islam juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, dengan kata lain bukan hanya dari kalangan ummat Islam itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat dengan pergerakan Kristenisasi di dunia Islam yang sebenarnya sangat mengkhawatirkan. Sudah puluhan ribu - bahkan jutaan - ummat Islam di seluruh dunia yang berganti agama. Hal ini tidak cukup dengan hanya memberi alasan bahwa ummat Islam hidup dalam keadaan miskin, sehingga mudah dirayu dan dijanjikan dengan materi. Saudara kita yang miskin - dalam masalah ini - tidak perlu disalahkan, karena untuk mempertahankan hidup mereka butuh makan bagi keluarga dan memenuhi kebutuhan lainya. Yang menjadi masalah adalah pergerakan Kristenisasi yang ada sekarang ini.

Pemimpin-pemimpin Ummat Islam Berfikiran Sekuler

Rata-rata pemimpin-pemimpin ummat Islam hari ini berpaham sekuler, yang berdampak banyaknya keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan bertentangan dengan ajaran agama Islam dan terkadang merugikan ummat Islam itu sendiri, sehingga tanpa disadari mengokohkan posisi musuh-musuh Islam yang ada di negara mereka. Contoh kecil, ketika Khilafah Usmaniyah runtuh di Turki tahun 1924, kekuasan diambil alih oleh Mustafa Kamal Attartuk. Di bawah kekuasaan beliau, azdan ditukar ke dalam bahasa Turki, tulisan yang pada awalnya memakai huruf Arab ditukar dengan huruf latin.

Bagaimana Membangun Kembali Kekuatan Islam

Setelah kita mengetahui faktor-faktor kelemahan ummat Islam, timbul beragam pertanyaan, bagaimana membangun kembali kekuatan ummat Islam? Di bawah ini penulis mencoba mengetengahkan beberapa solusi yang mudah-mudahan menjadi bahan renungan bersama.
Mengetahui sebab-sebab lemahnya ummat Islam dan mencari jalan keluarnya.

Di antara sebab-sebab lemahnya ummat Islam telah kita bicarakan di atas, hanya ada beberapa perkara yang amat penting untuk disampaikan. Pertama: berkembangnya pemikiran-pemikiran non Islam di kalangan masyarakat orang Islam. Kedua: masalah pendidikan di negara Islam yang masih mengikuti kurikulum dari penjajah. Ketiga: Keadaan masyarakat ummat Islam yang hidup dengan gaya bukan Islam bahkan kadang-kadang bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.

Persatuan umat Islam.

Asas kekuatan adalah persatuan dan kesatuan ummat Islam itu sendiri. Hal ini telah disampaikan oleh Allah SWT dalam al-Qur'an “Berpegang teguhlah kepada tali-tali Allah dan janganlah kamu berpecah belah” (QS. Ali Imran: 103). Dalam ayat lain diterangkan “Janganlah kamu berbantah-bantah, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu” (QS. al-Anfal: 46).

Untuk merealisasikan kekuatan tersebut, maka kita dituntut oleh agama untuk bersatu padu dalam satu fikrah, barisan, negara, tujuan dan kekuatan. Penulis yakin, jika kita bisa bersatu dalam hal tersebut di atas maka kekuatan Islam akan kembali seperti semula.
Beramal mengikuti al-Quran dan al-Sunah.

Maksudnya adalah, hendaknya kita bersatu dan berhimpun dalam satu wadah keislaman yang berasaskan kepada Islam (baca: Al-Qur'an dan Assunnah), yang meliputi kepercayaan, perkataan, ataupun perbuatan, baik secara individu, keluarga, masyarakat dan negara. Karena ummat Islam wajib hukumnya mengamalkan ajaran agamanya dan sebaliknya haram bagi mereka beramal selain itu.

Penutup

Di akhir makalah ini dapat kita ambil kesimpulan, bahwa banyak hal yang menjadi faktor kelemahan ummat Islam, sedangkan kebanyakan ummat Islam tidak menyadarinya. Dua faktor paling dominan yang menjadikan ummat Islam lemah, yaitu faktor internal dan eksternal sebagaimana telah disebutkan.

Mudah-mudahan dengan mengetahui faktor kelemahan ummat Islam ini, minimal kita mempunyai gambaran dan menyadari bahwa sebagai ummat Islam, kita harus dapat merubah diri dan berbuat lebih banyak di masa yang akan datang untuk kepentingan agama Islam. Sesungguhya Allah bersama orang-orang yang menolong agama, seperti firman Allah “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah maka Allah akan menolong kamu dan menguatkan barisanmu” (QS. Muhammad: 7). Wallahu ‘alam bishowab.

Footnote
* Disampaikan dalam acara Tatsqif Musim Panas Pusat Informasi Partai Keadialan Sejahtera, seri kedelapan bertempat dihostel: 5 IIUI, pada tanggal: 3 Agustus 2005.
1 Kata Pengantar “The Islamic Invasion” buah karya Robert A. Morey, oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi, M.phil. Hal: 38.

Authobiografi Maulana Maudoodi


Oleh
Sayyed Vali Reza Nasr
Department of Political Science
University of San Diego, California

Alih Bahasa
Abdul Kholiq Saman

Maulana Sayyed Abul ‘Ala Maudoodi1, pendiri Jama’at-I-Islami (Partai Islam)2 merupakan sosok yang paling berpengaruh dan produktif dalam kebangkitan semula pemikir-pemikir muslim kontemporer3. Ide-idenya yang besar sangat mempengaruhi terhadap kebangkit Islam dari Malaysia sampai ke Marokko. Dampak tulisanya yang berhubungan dengan Islam juga sangat jelas mempengaruhi cara berfikir dan aksi kebangkitan Islam di dunia Arab, Iran, Asia Tengah dan negara-negara di Asia Tenggara4. Pada hakikatnya bisa dikatakan bahwa Maudoodi adalah salah seorang diantara arkitek-arkitek kebangkitan Islam kontemporer, walaupun beliau bukan sebagai central figur dari kebangkitan tersebut.

Tulisan-tulisanya yang produktif tidak hanya membuat beliau terkenal sebagai pelopor kebangkitan pemikiran Islam dizamanya, akan tetapi juga menegaskan posisinya sebagai kekuatan terpenting dalam tradisi keilmuan agama. Tafsir “Tafhim-ul-Quran” (Understanding the Quran) yang beliau mulai tulis pada tahun 1942 dan selesai pada tahun 1972, merupakan salah satu tafsir dalam bahasa Urdu (Bahasa resmi Pakistan, pent) yang paling banyak dibaca pada hari ini. Ditulis dengan bahasa yang sangat mudah untuk difahami oleh orang banyak. Tafhi-ul-Quran mendukung atas kebangkitan penterjemahan teks Al-Quran lainnya, ianya juga mendapat tempat di antara para ilmuan-ilmuan Islam klasik di Asia Selatan. Dalam kebanyakan tulisanya, Maudoodi mengelaborasi pandangannya terhadap agama, sosial, ekonomi dan politik. Gabungan semua ini secara logis dan sistematik dalam mentafsirkan Islam adalah salah satu tujuan dalam memobilisasi orang-orang muslim terhadap aksi politik.

Dalam perspektif ideologi, Maudoodi merupakan salah seorang pendorong dan orang yang berbicara panjang lebar tentang artikulasi posisi kebangkitan, mempengaruhi terhadap terbukanya kran-kran kebangkitan di dunia Islam lainnya. Para ahli pemikiran di dunia Islam dimana saja berada baik di Iran, Mesir, Sudan dan Afrika Utara turut andil dalam kontribusi besar terhadap kebangkitan Islam, dan juga menjadi sebab dalam mempromosikan ideologi. Konstribusi Maudoodi sendiri terhadap kebangkitan umat Islam sampai hari ini sangat signifikan, karena Maudoodilah yang membangun kerangka ideologi kebangkitan disemua agenda politik. Walaupun dalam prakteknya disemua negara – hasil pemikiran tadi – sangat berbeda. Beliau menata parameter kebangkitan sebuah negara dan masyrakat melalui pidato dan tulisan, serta memberi ide-ide yang jelas dengan penuh semangat kepada revivalist lainnya. Konsep “Ideologi Islam”, “Revolusi Islam”, “Recontraction of the prophetic Comunity, dan “An Islamic Organization Solution” dan semua yang berhubung erat dengan kebangkitan Islam hari ini, beliaulah orang yang pertama memperkenalkan dan mendefinisikan konsep itu. Telah bertahun-tahun kebangkitan Islam berkembang dengan berbagai cara dan jalan yang ditempuh, ternyata karya Maudoodi masih relevan untuk dijadikan bahan rujukan bagi generasi kebangkitan akan datang. Oleh karena itu, agar lebih memahami sifat dasar tentang kebangkitan Islam – yang diperkenalkan oleh Maudoodi – sangat penting untuk diketahui bagaimana dan kenapa Maudoodi membangun ide, konsep dan model organisasi politik serta tindak-tanduknya. Pada hakikatnya, ini semua dapat difahami dihalaman-halaman berikut. Segala bentuk definisi yang digunakan oleh pergerakan kebangkitan Islam hari ini bisa di fahami melalui konteks yang pertama kali di bentuk oleh Maudoodi.

Karya-karya Maudoodi yang berbicara tentang Islam dipaparkan dalam bahasa yang penuh dengan kesejukan, peperangan antara Islam dan Kufur – Barat dan kebudayaan Muslim di India – merupakan salah satu sentral kekuatan sejarah dalam kemajuan masyarakat muslim di India. Perjuangan ini mendesak Maudoodi untuk mendirikan sebuah negara Islam untuk mengawasi perbaikan masyarakat dalam skala besar dan juga untuk mencapai kekuatan masyarakat itu sendiri. Akhirnya Maudoodi menginterprestasikan Islam sebagai mobilisasi keyakinan yang harus diikutsertakan dalam semua aksi politik. Artinya, Islam harus di pandang sebagai satu sistem kepercayaan yang mengabungkan antara kebaikan dengan kepatuhan yang kuat terhadap kehendak Allah dalam segala tingkah laku dan kepercayaan. Ianya harus mempunyai kekuatan dan tujuan dalam membangun kebaikan-kebaikan dalam masyarakat dan politik. Maudoodi memperkenalkan beberapa istilah Islam, diantaranya: Ketuhanan (Ilah), Tuhan (Rabb), Ibadah (Worship), Agama (Religion) sebagai kunci. Kemudian mentafsirkannya serta memaparkan relasi antara satu dengan lainnya. Seperti aksi sosial yang menjadi tujuan akhir dari proses kebaikan dan juga Islam sendiri menjadikan roda dalam setiap aksi-aksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Meskipun sudah bertahun-tahun aktivitasnya berjalan, disebarkan melalui karya-karyanya yang berhubungan dengan Islam serta polemiknya terhadap revolusi Islam, pendekatan politik Maudoodi masih jauh dari realita revolusi yang sebenarnya. Beliau terus dan menyakini bahwa perubahan sosial dalam masyarakat tidak akan berhasil dicapai melalui pengulingan penguasa politik dengan kekerasan, akan tetapi perubahan itu akan bisa dicapai dengan merubah cara berfikirnya para elit politik dan memulai memperbaiki orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Maudoodi menerangkan lebih lanjut, revolusi Islam merupakan salah satu dari proses Islamisasi negara dari dalam. Oleh karena itu, beliau dengan aktif menolak kekerasan dalam mempromosikan Islam, dan sekali lagi beliau menegaskan bahwa negara Islam yang ideal merupakan sebuah negara yang menerapkan demokrasi, “theodemocracy” atau “Democratic caliphate” secara tepat.

Pendidikan harus mampu menjadi agen dalam setiap proses revolusi yang ada. Melalui pendidikan akan lahir sebuah masyarakat yang pintar dan cemerlang. Para elit politik dan para intelektualnya akan mempunyai pemahaman yang jelas terhadap agama mereka sendiri. Perubahan mereka akan memberi dampak sangat positif terhadap pendidikan masyarakat juga membangun kerangka pemerintahan dan semua institusi sosial yang dipengaruhi oleh pandangan Islam. Perubahan ditubuh para elit politik merupakan revolusi terhadap masyarakat yang akhirnya akan melahirkan negara dan masyrakat Islam yang ideal.

Mengenai hal ini, posisi Maudoodi sangat jelas melalui politik Jama’at-i-Islami. Partai ini, setelah berdirinya negara pakistan bergabung dengan proses perpolitikan yang bertujuan untuk membentuk sebuah pemerintahan dan mulai menyebarkan sayapnya dikalangan pelajar, birokrasi dan para guru, sepenuhnya mengharapkan untuk melihat revolusi dari kalangan atasan bisa diujudkan. Pendekatan yang Maudoodi lakukan berbeda dengan visi Ayatullah Khomaini dalam revolusi Islam, walaupun hingga kini Jama’at-i-Islami masih gagal untuk merebut kekuasan di Pakistan, akan tetapi Maudoodi telah berhasil dalam memberi contoh terhadap sebuah kebangkitan Islam dalam setiap aksi sosial. Hal ini dapat dibuktikan dari partisipasi partai-partai Islam dalam proses pemilihan umum (election) dari Algeria sampai ke Malaysia, yang menjadi hal penting dalam mempertajam sikap politik dikalangan partai-partai kebangkitan di dunia Islam.

***

Pandangan-pandangan Maudoodi tetang perpolitikan dunia mulai menajam ketika terjadinya komplik dan huru-hara dalam kehidupan orang-orang muslim India. Penjajah British yang sejak kedatangan mereka membuat orang-orang muslim menghadapi berbagai kesulitan dalam memilih antara politik komunis dan menuntut untuk merdeka dan aliansi nasionalis sekuler yang diketuai oleh Partai Kongres. Perubahan bentuk kehidupan dan perpolitikan orang-orang muslim membuat cara berfikirnya Maudoodi semakain tajam, dan terkenal sebagi seorang revivalist yang menterjemahkan Islam. Riwayat hidup beliau memberi keterangan yang lengkap terhadap faktor-faktor yang telah beliau perankan dan memberi peluang kepada pelajar Islam kontemporer untuk memahami sifat hubungan antara perubahan sociopolitik dan perubahan ideologisasi kepercayaan dalam dunia Islam.

Biografi ini ditulis pada tahun 1932 oleh teman Maudoodi, Sayyed Manzar Ali yang dihimpun dalam bukunya Tazkirah (koleksi riwayat hidup) Muslim Hyderabad, Daccan. Tahun 1932 adalah tahun kritikal bagi kehidupan Maudoodi, dimana pada tahun tersebut beliau mulai menerbitkan hasil fikiranya melalui jurnal “Tarjuman Al-Quran” yang membahas tentang kebangkitan Islam, sosial dan tanggungjawab politik bagi orang muslim. Oleh karena itu, biografi ini ditulis dalam masa waktu kritikal bagi kehidupan beliau dan memfokuskan terhadap pokok-pokok kehidupan beliau yang beliau sendiri menggangap penting transformasi intelektual kepada seorang revivalist.

Biografi yang ringkas dan tanpa mengetahui sebab tidak sempurnanya, tetapi jelas serta penuh dengan kejujuran. Dan yang menarik lagi ianya ditulis dengan gaya bahasa Tazkirah orang muslim yang berbeda dengan biografi revivalist lainya. Aspek yang menarik dari biografi ini adalah bahwa Maudoodi menekankan kebudayaan Indo-Muslim seperti pentingnya silsilah keturunan, menghargai kebudayaan Sharif (tokoh agama), dan pertalian dengan para sufi – yang membawa nasib baik kepada Maudoodi, akan tetapi silsilah tersebut tidak menjadi identitas beliau sebagai seorang revivalist dan seperti yang terjadi di Jama’at-i-Islami. Para revivalist lain secara terbuka meragukan bahkan mengejek dan menghina terhadap silsilah Maudoodi yang dianggap tidak autentik bahkan ada kesan dibuat-buat. Oleh karena itu, biografi Maudoodi memperlihatkan hubungan lansung antara Maudoodi dengan Sharif, warisan sufi dan visi kebangkitan beliau terhadap Islam, yang tidak gunanya untuk ditambah. Risalah ringkas ini juga sepintas lalu menerangkan karakter-karakter kerja Maudoodi yang merupakan refleksi dari dedikasi beliau terhadap karya-karya atau reaksi yang beliau hadapi selama masih hidup.

Biografi ini pertama kali terbit pada tahun 1955, dan juga oleh Muhammad yusuf Buhtah, yang menyiapkan satu volume setelah meninggalnya Maudoodi pada tahun 1979. Biografi ini terbit dengan judul “Khud Niwisht” (Riwayat hidup) cetakan pertama dicetak oleh Maktabah-i-al-Habib, dan cetakan kedua oleh percetakan Buhtah dengan judul: Maulana Maudoodi: Apni Awr Dusrun ki Nazar Main (Maulana Maudoodi: menurut beliau sendiri dan pandangan orang lain) pada tahun 1980 terjemahan ini mengikuti cerita Maulana Maudoodi sendiri dan tanpa ada tambahan dari penulis.

***
Saya (Maudoodi, Pent) berasal dari sebuah keluarga yang memberi nasehat-nasehat spiritual kepada orang-orang muslim (irshad-u hidayah), yang hidup dalam kesederhanaan (faqr-u darwishi) selama 1300 tahun. Keturunan sayyid dari ahlil bayt banyak yang tinggal di sekitar Herat (kini dalam wilayah Afghanistan, Pent) yang setelah itu dikenal dengan sebutan Chisht. Abu Ahmad Abdal Chishti (wafat 355/965), adalah salah seorang yang terkenal dari kalangan keluarga ini, yang merupakan keturunan dari Imam Hasan ibn Ali Radhia Allah ‘Anhuma. Beliau juga terkenal dengan pendiri Tariqah Sufi Chishtiyyah. Nasir al-Din Abu Yusuf Chishti (wafat 459/1066) merupakan keturunan dari Abu Ahmad melalui anak perempuanya dan akhirnya menjadi mursyid Tariqah, yang berasal dari keturunan saadat (tunggal: Sayyid). Keturunannya kembali ke Imam Ali Naqi, dan berakhir silsilahnya ke Imam Husain Radhia Allah ‘Anhu. Khawaja Qutb al-Din Maudood Chishti (wafat 527/1132) adalah anak tertua Nasir al-Din, yang merupakan shaikh al-shuyukh dari semua Tariqah Chishti di India, dan keluarga Maudoodi berasal dari ketutunan beliau.

“Khwaja Mu’in al-Din Ajmiri ibn Uthman Harwani ibn
Jami Sharif Zindani ibn Khwaja Qutb al-Din Maudood.
Saya berasal dari keturunan keluarga Maudoodiyyah”

Keturunan keluarga Maudoodiyyah yang saya sendiri berasal darinya hijrah ke India dalam kurun kesembilan (sekitar kurun 15-16) pemimpin pertama mereka ketika hijrah ke India bernama Abul ‘Ala Maudoodi (wafat 932/1528){senama dengan Maudoodi}. Beliau datang ke India dari Chishti ketika pemerintahan Iskandar Lodhi (894-923/1489-1517) dan bertempat di kota Biras dekat Kirnal. Ketika pemerintahan Mongol Shah Alam (1173-1221/1760-1806) Keluarga Maudoodiyyah pindah ke Delhi. Sejak itu lima generasi dari famili tersebut tinggal di Delhi, dan generasi yang ke enam sekarang tinggal dibumi terpencil.

Keluarga sebelah ibu saya berasal dari keturunan Turki. Kakek sebelah ibu saya Mirza Qurban Ali Baig Khan Salik seorang penyair dan penulis. Dan keturunan beliau berkecimpung dibidang ketentaraan. Diantara kakek-kakek saya, Mirza Tulak hijrah dari Transoxania ke India pada zaman pemerintahan Awrangzaib (1068-1118/1658-1707) dan diberi kedudukan dalam ketentaraan. Sampai waktu raja Shah Alam memerintah keluarganya masih bekerja di istana. Sejak sistem kerajaan ditiadakan semua yang berada di istana raja diberhentikan dari pekerjaan mereka. Orang tua Salik, Nawwab Alam Baig Khan dan paman Nawwab Niyaz Bahadur datang ke Hyderabad. Waktu itu hari-hari terakhir bagi pemerintahan Mir Nizam Ali Khan. Di Hydarabad Niyaz Bahadur Khan menikahkan anak perempuan Nawwab Mustaqill Jang Izzat Al-Dawlah Ashur Baig Khan yang mempunyai hubungan lansung dengan paman saya melalui keturunannya. Pemerintah Asifiyyah mengganugerahkan kepada beliau titel (gelar) yang sama dan gelar kehormatan yang sebelumnya dianugerahkan oleh Mughol kepada keturunan-keturunan mereka. Niyaz Bahadur Khan mengantikan Ashur Baig sebagai Jagirnya (gelar turun-temurun) dan sebagai ketua penduduk setempat.

Alam Baig Khan, sementara itu menikahkan keluarga Abdul Rahim Khan, qil’ahdar (komander tentara) di Gulkondah. Dari perkawinan ini (Ali Baig Khan) Salik lahir. Pada tahun 1822 Nawwab Niyaz Bahadur Khan menjadi korban (meninggal) di Chanchilgurah dalam suatu pertempuran. Pertempuran ini dicatat panjang lebar dalam sejarah Deccan. Ada sebuah anekdot yang menarik tentang meninggalnya (Nawwab Niyaz Bahadur Khan) seperti berikut: “Dari pedang Shamshir Khan berakhirnya riwayat hidup Niyaz Bahadur Khan, dan dari pedang Niyaz Bahadur Khan berakhirnya riwayat Shamshir Khan”. Setelah musibah ini Alam Baig Khan membawa anaknya yang paling kecil (Mirza Salik) ke Delhi. Kemudian setelah empat puluh tahun berlalu Mirza Salik kembali ke Hyderabad dan diangkat oleh Salar Jang Alam sebagai kepala departemen pendidikan. Dibawah pelindung Nawwab Imad Al-Daulah Bilgrami mereka mulai menerbitkan Journal dengan judul Makhzan al-Fawaid. Walaupun bukan termasuk journal akademika yang tertua di Hyderabad, tetapi ianya termasuk journal yang pertama dan memainkan peranan sangat penting dalam pendidikan. Pada tahun 1854 Salik meninggal dunia dan dikebumikan di tanah kelahiranya.

***
Arwah ayah saya, Maulawi Sayyed Ahmad Hasan dilahirkan dua tahun sebelum terjadi pemberontakan di Delhi pada tahun 1857. Beliau termasuk generasi pertama yang belajar di Madrasatul Ulum Aligarh. Sekolah ini dibangun oleh Arwah Sir Sayyid Ahmad Khan (wafat 1898), dan menyeleksi anak-anak dari kalangan keluarganya sendiri dan orang-orang yang berasal dari daerahnya untuk disekolahkan di Aligarh. Secara kebetulan kakek sebelah ibu saya satu daerah dengan Sir Sayyed Ahmad Khan, maka ayah saya termasuk orang yang terpilih untuk belajar di Aligarh. Di Aligarh ayah saya satu kelas dengan Sir Muhammad Rafiq dan Sir Buland Jang. Sejak waktu itu, sudah menjadi rahasia umum, orang-orang muslim tidak menyenangi pendidikan dan kebudayaan yang dibawa oleh British. Pengaruh tersebut sangat jelas terhadap keluarga saya. Keluarga saya tidak cuma orang-orang yang mengerti tentang agama, akan tetapi juga termasuk dalam kalangan ulama’ dalam masyarakat. Kakek saya tidak begitu senang dengan pendidikan yang diterapkan di Aligarh tempat ayah saya belajar, akan tetapi karena beliau menghormati Sir Sayyid Ahmad Khan maka kakek saya menyetujui hal tersebut.

Suatu hari ada seorang dari daerah saya datang ke Aligarh dan disana beliau melihat ayah saya sedang main kriket. Orang tersebut terkejut, melihat anak seorang sufi (pir) memakai pakaian British dan bermain dengan permainan orang British. Setelah kembalinya dari Delhi, orang tersebut memberi tahu kepada kakek saya tentang apa yang beliau lihat di Aligarh.

Wahai Saudaraku!
Cuci tangan kamu dari Ahmad Hasan (ayah Maulana Maudoodi, pent).
Saya melihat dia di Aligarh memakai pakaian orang kafir dan main kriket.

Mendengar berita tersebut, kakek saya hilang kesabaranya dan lansung memanggil ayah saya dari Aligarh. Akibatnya ayah saya tidak sempat menyelesaikan studinya di Aligarh. Berikutnya beliau sekolah di Allahabad dan menyelesaikan sekolahnya dalam jurusan perundang-undangan.

Sejak itu, ayah saya pergi ke Deogarh dan diangkat menjadi tutor putra mahkota. Kisah tetang pelantikan itu sangat menarik sekali. Raja Deogarh memanggil dua orang yang ingin dijadikan tutor dari Delhi dan akan memilih salah satu yang terbaik diantaranya sebagai pendidik anak raja. Satu dari keduanya adalah ayah saya dan satu lagi adalah mantan dosen ayah saya. Setelah sampai di Istana Deograh ayah saya baru mengetahui bahwa mantan dosen beliau juga diundang oleh Raja. Beliau lansung mengirim berita kepada Raja, bahwa dia tidak sanggup bertanding dengan mantan dosennya dan mohon izin untuk kembali ke Delhi. Disatu sisi, mantan dosennya merespon dan berkata “Dia adalah mantan murid saya dan juga masih kecil, bagaimana dia bisa mengajar seperti saya”. Melihat dari kedua karakter tersebut, Raja berkata “Kita tidak butuh profesor. Akan tetapi kita lebih suka muridnya”. Lalu ayah saya tinggal beberapa tahun di Deograh sampai putra mahkota meninggal dalam satu komplotan. Ayah saya sangat terkejut dengan hal tersebut lalu berhenti dari pekerjaanya dan meninggalkan Deograh.

Dalam beberapa tahun beliau bekerja sebagai pengacara di Meerut, Ghaziabad dan Bulandshahr. Pada tahun 1896 beliau pergi ke Awrangabad untuk membela sebuah permasalahan (case). Maulawi Muhyiddin Khan adalah ketua hakim di Awrangabad dan mempunyai hubungan dengan ayah saya dari pihak sebelah ayah pamannya. Atas nasehat beliau ayah saya meneruskan karirnya di sana dan beliau sukses dalam beberapa bulan saja. Sejak hari-hari tersebut ayah saya sangat terpengaruh dengan ide-ide dan gaya hidup orang British. Kepingan keagamaanya mulai ditutupi oleh abu-abu kemoderenan. Dengan perlahan-lahan Maulawi Muhyiddin memberi nasehat dan mengikis semua bekas kebudayaan barat dari kehidupan beliau, dan Islam menjadi dominan dalam kehidupanya. Pada tahun 1318/1900 ayah saya berbai’ah (berjanji) dengan Maulawi Muhyiddin secara spiritual dan ajaran-ajaran sufi. Sejak itu kehidupannya selalu beribadah, menunaikan perintah-perintah agama dan karirnya semakin menurun.

Dalam beberapa tahun beliau mempraktekkan kehidupan para sufi dan hidup dalam kezuhudan. Pada tahun 1904, ketika saya baru berumur satu tahun, ayah saya menghadapi kesulitan dan ujian. Beliau tidak hanya berhenti dari pengacara, akan tetapi juga menyuci tangannya dari keduniaan. Beliau menjual semua peralatan rumah dan kami pindah ke Delhi. Disana kami tinggal di Arab Sara’i, sebuah kampung dekat makam Nizam-al-Din Uliya. Disana beliau tumpukan segala kehidupanya dengan masalah-masalah agama. Kami hidup dalam keadaan seperti ini sekitar tiga tahun. Selepas itu Maulawi Muhyiddin memanggil ayah saya ke Awrangabad dan menasehati beliau, “Untuk kembali kepada Allah adalah tidak patut meninggalkan dunia, hanya untuk menghasilkan sepotong roti dengan cara tawakkal”.

Setelah mendengar nasehat ini ayah saya mulai lagi berkerja sebagai pengacara, dan bertekat untuk tidak membela sebuah permasalahan dengan berbohong. Beliau terlebih dahulu mengkaji semua case (permasalahan) dan bersedia untuk membela di mahkamah setelah memahami bahwa yang dibela benar-benar berada dipihak yang benar.5 Beliau puas dengan perkerjaanya, tetapi bingung dan bingung dengan permasalahan keuangan keluarga yang semakin susah. Cara berfikir, gaya hidup dan ide-ide ayah saya banyak berubah, mungkin sepintas orang akan menyangka bahwa ayah saya terpengaruh dengan cara orang-orang British.

Beliau masih menjadi pengacara di Awrangabad sampai tahun 1915, kemudian pindah ke Hyderabad. Berselang beberapa bulan disana beliau jatuh sakit dan pindah ke Bhopal tempat abang saya yang berkerja sebagai pegawai eksekutif. Di Bhopal ayah saya mengalami penyakit stroke yang menyebabkan beliau menjadi lumpuh. Beliau terbaring ditempat tidur selama empat tahun dan meninggal dunia pada tahun 1920.

Saya lahir pada 3 Rajab 1321 H /December 1903 di Awrangabad. Tiga sampai empat tahun sebelum saya lahir seorang yang alim memberi tahu kepada ayah saya tentang kelahiran saya dan memberi pesan agar ketika saya lahir nanti diberi nama Abu al-‘Ala, karena nama ini amat masyhur dalam keluarga kami dikalangan muslim India. Ketika saya lahir ayah saya memberi nama kepada saya Abu al-‘Ala mengingati pesan yang telah diterimanaya sebelum saya lahir. Setelah satu tahun dari kelahiran saya, ayah saya meninggalkan kehidupan dunia dan memilih untuk menyendiri dari kesibukan dunia selama lebih kurang tiga tahun. Walaupun setelah itu kembali kedunia nyata yang sangat berbeda dengan kehidupan beliau sebelum menyendiri, beliau menjadi sangat taat dalam beragama. Hasil dari perubahan total dalam kehidupan beliau, di waktu yang sama saya mulai membuka mata dan tumbuh dalam lingkungan doktrin keagamaan yang kuat. Kehidupan ayah dan ibu saya sangat jelas sekali dengan berpandukan kehidupan agama yang benar. Contoh dan tarbiyah yang diberikan menjadikan kami teguh beragama dan bergairah untuk mempelajarinya.

Pada awalnya ayah saya mempunyai cita-cita untuk menjadikan saya sebagai seorang Maulawi (‘Ulama) dan mulai mendidik saya dengan objektif tersebut. Disamping belajar bahasa Urdu dan Parsia, saya juga belajar Bahasa Arab, Fiqh dan Hadist. Beliau tidak mengizinkan saya untuk belajar Bahasa Inggris dan pemikiran-pemikiran dari Barat. Dalam mendidik beliau sangat menekankan kepada etika dan peningkatan akhlak kami. Dalam masa waktu tertentu, saya cuma belajar dirumah dan tidak mengikuti sekolah formal. Dan dalam waktu kosong biasanya saya gunakan untuk belajar secara autodidak.

Dimalam hari sebelum tidur saya mendengar kisah-kisah pahlawan Islam dan beberapa kisah lain dari sejarah umat Islam terdahulu. Kisah-kisah yang menarik ini membuat saya semakin bergairah untuk mempelajari agama ini lebih mendalam lagi. Sampai aktifitas disetiap hari saya tumpukan kepada belajar dan meningkatkan diri, terutama latihan berbicara didepan teman-teman dengan mengunakan bahasa yang baik. Selama saya tinggal di Deccan lebih kurang duapuluh tahun saya tidak mengunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari, tetapi selalu mengunakan bahasa Urdu yang benar (pure Urdu). Mengunakan bahasa yang baik dalam percakapan adalah suatu hal yang sangat ditekankan dalam keluarga kami. Terus kadang-kadang kami tidak dibenarkan untuk bermain dengan anak-anak setempat. Tapi masih juga, jika ayah saya mendengar ada dikalangan kami salah dalam mengungkapkan kata-kata atau ejaan yang salah sertamerta beliau membenarkan kesalahan tersebut.

Saya belajar dirumah sampai umur sembilan tahun, dalam masa tersebut saya belajar Nahu dan Sorf (tata bahasa Arab), literatur dan pengenalan buku-buku fiqh. Tutor saya Almarhum Maulawi Nadimullah Husyni mendaftarkan saya di Madrasah Fawqaniyyah Rushdiyyah di Awrangabad. Selang beberapa bulan setelah saya belajar, ujian dilaksanakan. Saya ikut dalam ujian tetapi saya tidak lulus. Saya kurang berminat dengan mata pelajaran Matematika yang saya pelajari dalam tempo enam bulan. Tetapi saya tidak lemah dalam mata pelajaran yang lainnya. Namun demikian, kepala sekolah Mulla Dawud sangat bermurah hati dengan saya, meskipun saya gagal dalam ujian beliau masih menerima saya sebagai murid dibagian Maulawi. Disana saya diperkenalkan pertama kali dengan ilmu-ilmu moderen. Walaupun bahasa pengantar dalam bahasa Urdu, namun saya merasa senang dengan pelajaran fisika, biology, matematika, sejarah dan ilmu-ilmu lainnya. Selama masa belajar tersebut, tiap-tiap guru memiliki pengaruh tersendiri bagi diri saya dan begitu juga dengan teman-teman disekolah. Selama saya tinggal dalam lingkungan ini, banyak sekali hal-hal yang baik dan tidak baik dapat saya ambil pelajaran, hal ini membuat saya berhati-hati ketika saya terjun dimasyarakat. Dalam mendidik kami, ayah saya mengajarkan bagaimana membedakan antara yang baik dan tidak baik. Tarbiyah pertama yang saya perolehi dari orang tua sangat melekat dalam benak saya, hal ini yang membuat saya semakin kuat dalam menghadapi berbagai pengaruh dari luar. Manfa’at yang dapat saya ambil dari pentarbiahan tersebut adalah ketika umur saya menginjak 15 tahun, saya ditakdirkan untuk tinggal jauh dari keluarga dan hidup tanpa ada pengawasan, umur semuda ini biasanya cenderung untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.

Pada tahun 1914 saya hampir-hampir tidak lulus dalam ujian Maulawi disebabkan saya lemah dalam mata pelajaran matematika. Dihari-hari tersebut ayah saya juga menghadapi berbagai masalah dengan kesehatannya. Kami meninggalkan Awrangabad menuju Hyderabad. Di Hyderabad saya masuk sekolah Darul Ulum dalam bidang yang sama (Maulawi section). Maulana Hamid al-Din Farahi (wafat 1930) sebagai kepala sekolah ketika itu.6 Setelah itu ayah saya pindah lagi ke Bhopal dan saya tetap meneruskan pendidikan saya di Hyderabad. Tapi setelah 6 bulan berlalu saya mendapat berita dari Bhopal yang mengabarkan bahwa ayah saya dalam keadaan sakit parah. Mendengar berita tersebut saya jadi bingung dan memutuskan untuk pergi ke Bhopal dengan ibu saya untuk menjengok ayah saya. Tapi Allah menghendaki lain, ayah saya meninggal dunia. Saya mulai merasa kepahitan-kepahitan dalam ralita kehidupan. Selama dua tahun setengah lamanya saya harus menjalankan kehidupan ini diatas kaki sendiri, dan pengalaman ini telah mengajar saya arti kehidupan yang sebenarnya.

Saya senang menulis sejak dibangku sekolah lagi. Suatu hari, kenalan saya Niyaz Fatihpuri menganjurkan kepada saya untuk mengajar tulis menulis. Tapi saya kurang berminat untuk itu dan saya memilih pena (baca: tulisan) sebagai mata pencarian.

Pada tahun 1918 abang saya Abu al-Khayr seorang wartawan dan berkerja sebagai editor majalah Madinah di Bijnur. Saya pergi menghadap beliau dan berkerja dengannya. Tapi setelah lebih kurang dalam dua bulan kami tidak dapat meneruskan usaha kami dan kembali ke Delhi. Dihari-hari tersebut perpolitikan India dalam keadaan kacau. Bagi saya, pemikiran yang bebas, bacaan dan analisa saya serta pengalaman-pengalaman dari kejadian-kejadian dalam keluarga dan sekeliling membuat saya menolak Westernisasi dan campur tangan barat. Dari itu, saya siap menerima pergerakan kemerdekaan (independence movement), khususnya yang mempunyai misi agama. Kami mulai membangun “Anjuman-i I’anat-i Nazarbandan-i Islam” (organisasi untuk membantu tahanan orang muslim). Ketika pergerakan Khilafah berdiri pada tahun 1919, saya juga ikut menjadi anggotanya.7 Dalam hari-hari tersebut saya juga menulis buku tentang riwayat hidup Mahatma gandhi (beliau juga mendukung Pergerakan Khilafah), tapi salah seorang dari kampung saya mengadu hal tersebut kepihak kepolisian dan buku saya disita. Setelah itu kami bertemu dengan seorang pemberani yang berasal dari Central Provinces. Beliau sebagai pelindung“Anjuman-i I’anat-i Nazarbandan-i Islam” namanya Taj al-Din, beliau juga aktif menulis dan editor majalah mingguan Taj dari Jabalpur. Masa itu adalah masa yang sangat sulit bagi pembisnis berita. Kami hanya mampu berkerja dengan Taj dalam beberapa bulan saja setelah itu meninggalkan Jabalpur, pertama ke Bhopal dan selanjutnya ke Delhi.

Jurnalis memaksa saya untuk belajar bahasa Inggris. Saya bernasib baik bisa bertemu dengan tutor Maulana Muhammad Fazil. Saya belajar buku-buka dasar bahasa Inggris dengan beliau dalam empat sampai lima bulan. Setelah itu saya tidak lagi memakai tutor dan belajar sendiri dengan cara membaca koran, artikel dan buku-buku, hal ini saya praktekan selama lebih kurang dalam dua tahun. Pada awalnya saya kurang faham, tetapi saya terus berusaha dengan gigih untuk memahami semua jenis teks dengan bantuan kamus, sehingga arti (ma’na) dari semua perkataan dan cara mengunakannya dapat saya fahami dengan baik. Dengan bahasa Inggris saya bisa mempelajari sejarah, philosofi, ilmu politik, ekonomi, agama, ilmu sosial dan ilmu-ilmu sains lainya dengan mudah.

Sejak itu, propesi saya dan abang saya sama sebagai jurnalis, tetapi pada tahun 1920 kami berbeda jalan. Abang saya meninggalkan jurnalis dan saya menekuninya. Saya kembali ke Jabalpur dan berkerja dengan Taj al-Din editor majalah Taj. Pada awalnya majalah Taj terbit tiap minggu setelah itu berubah menjadi setiap hari. Saya kerja sendirian dan juga membantu Taj al-Din dalam aktivitas politik. Ketika itu Pergerakan Khalifah di Jabalpur baru mulai dan saya salah seorang dari orang muslim yang bergabung dengan Congress (partai) dalam masalah ini. Ketika itu sedikit sekali ahli pidato dikalangan orang muslim, kemudian saya mulai mengisi ceramah walaupun sebenarnya saya tidak layak untuk tugas tersebut.

Setidak-tidaknya, apa yang terjadi di Jabalpur banyak memberi manfa’at kepada saya. Pertama, saya menjadi yakin yang sebelumnya tidak saya miliki. Pada awalnya saya merasa bingung terhadap tanggungjawab yang diberikan kepada saya dan merasa ragu-ragu sebelum menerima tugas. Tapi di Jabalpur tidak ada tempat untuk saya bergantung kecuali terhadap diri sendiri dalam menjalankan semua tugas yang berhubungan dengan orang banyak. Dan saya merasa disana ada kekuatan tersembunyi yang membantu saya disaat saya membutuhkan. Sejak itu, saya tidak pernah menolak dari menerima tanggungjawab. Kedua, saya menjadi orang yang bebas dalam kehidupan saya. Hal ini sangat jelas ketika saya tinggal di Jabalpur yang sebelumnya saya selalu tinggal dengan orang sekampung dengan saya.

Profesi saya sebagai jurnalis di Jabalpur tidak berjalan lama. Malangnya lagi, sebuah artikel tentang kritikan saya terhadap pemerintahan membawa dampak negatif kepada editor dan percetakan majalah Taj al-Din. Hal ini menjadi beban yang berat kepada saya dan saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk tidak menekankan tanggungjawab kepada pekerjaan akan tetapi tetap bertanggungjawab kepada hasil tulisan saya.

Pada akhir tahun 1920 saya kembali ke Delhi. Kira-kira pada awal tahun 1921 saya bertemu dengan Maulana Mufti Kifayatullah dan Ahmad Said, Amir dan Sekretaris Jendral Jamiat-i Ulama’ Hindi. Kemudian majalah resmi Jamiat The Muslim diterbitkan dan saya diangkat sebagai editor. Majalah tersebut cuma bisa bertahan sampai tahun 1923.

Antara tahun 1916-1921 adalah tahun yang amat susah yang saya rasakan dalam kehidupan saya dan berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain. Oleh itu, saya tidak bisa menjalankan pendidikan saya dengan sempurna. Disamping kesibukan sebagai jurnalis ketika saya tinggal di Delhi tahun 1921, diwaktu luang saya sempatkan diri untuk belajar literatur Arab, tafsir, hadits, fiqh dan mantiq (logic) dari berbagai tutor. Dan bercita-cita untuk mengetahui semua bidang ilmu pengetahuan.

Pada tahun 1923 sekali lagi majalah The Muslim dilarang untuk beredar dipasaran dan saya memutuskan untuk meninggalkan Delhi menuju Hyderabad. Dalam perjalanan saya dideportasi ke Bhopal. Saya belajar lebih kurang setahun setengah di Bhopal dan tidak bekerja apa-apa dan menghasilkan satu atau dua artikel saja. Pada tahun 1924 saya kembali ke Delhi. Disana saya berjumpa dengan Maulana Muhammad Ali. Beliau meminta saya untuk membantu menerbitkan korannya yang bernama Hamdard. Tetapi Maulana Ahmad Said (editor majalah Al-Jami’at) juga meminta saya untuk berkerja dengan beliau. Tapi saya memilih untuk berkerja dengan Al-Jami’at karena sebelumnya saya sudah kenal baik dengan editor majalah tersebut. Dengan pilihan ini saya bisa lebih independen. Dari tahun 1925 ketika Al-Jami’at mulai, dan sampai berhenti penerbitan pada tahun 1928 saya yang bertanggungjawab keatas majalah tersebut.

Dihari-hari tersebut disamping sebagai seorang jurnalis, saya juga belajar subjek-subjek yang lain, seperti Bahasa Arab dan membaca buku-buku lain. Dalam masa ini, saya juga menulis dua buku yang berjudul: Al-Jihad fi al-Islam (Jihad dalam Islam) dan Daulat-i Asifiyyah wa Hukumat-i Britaniyyah (Pemerintahan Asifiyyah dan kekuasan British). Di Delhi saya juga belajar Bahasa Jerman, tetapi tidak sampai selesai karena setelah sebulan setengah belajar tutor saya meninggalkan Delhi. Selama sepuluh tahun tinggal di India secara mental saya mengalami siksaan, khususnya ketika menjadi seorang jurnalis koran Urdu. Maka pada tahun 1928 saya mengundurkan diri dari Al-Jami’at dan memutuskan untuk menumpukan semua waktu kedalam tulis menulis dan mengedit pekerjaan yang saya minati. Pada Desember 1928 saya pergi ke Hyderabad dan tinggal disana sampai Agustus 1930. Diantara tahun tersebut, saya menulis sejarah kerajaan Seljuk dan menterjemah beberapa bab dari buku Ibn Khalkan tentang kerajaan Fatimiyah.

Pada tahun 1930 saya jatuh sakit dan kembali ke Delhi. Saya tinggal disana beberapa bulan sampai kesehatan saya agak membaik. Dari Delhi saya pergi ke Bhopal dan tinggal disana dalam beberapa bulan untuk mengumpulkan bahan-bahan tentang sejarah Deccan. Pada Juli 1931 saya kembali ke Hyderabab dan meneruskan riset tentang sejarah Deccan. Dalam selah-selah waktu tersebut saya juga menyiapkan riwayat hidup Nizam al-Mulk Asifjah dan setelah dicetak kedua buku ini laris dipasaran. Saya juga menterjemahkan buku Al-Asfar al-Arba’ah buah karya Allama Sadr al-Din Shirazi untuk Universitas Usmania, buku ini termasuk salah satu buku dalam bahasa Arab yang paling sulit untuk difahami.8

Menulis artikel dan karang-mengarang menjadi hobby saya sejak umur sembilan tahun lagi. Suatu hari teman dekat saya Ishfaq Ahmad Zahidi, orangnya cerdas dan mempunyai semangat besar dalam tulis menulis datang ke Awrangabad dan tinggal dengan kami untuk beberapa waktu. Abang saya dan saya sangat suka dalam tulis menulis dan senang dengan isu kemasyarakatan dan politik, kami sering membaca koran dan berita lainnya. Suatu hari beliau (Ishfaq Ahmad Zahidi, pent) ingin mencoba kapabilitas kami dengan memberi satu judul untuk dituliskan. Judul tersebut “I had fallen in love with a girl and I was to write her a letter describing my attraction to her and my pains”. Sebenarnya kami tidak siap untuk menulis tema seperti ini. Dan lagi, hidup saya selama ini tidak mendukung hal tersebut, secara mental saya tidak mempunyai kapasitas untuk mencintai dan dicintai. Walupun begitu saya juga pernah membaca syair-syair tentang cinta dalam buku Gulistan dan Bustan.9 Saya percaya bahwa perasaan cinta ketika memandang wajah yang cantik adalah penyakit yang membuat hati semakin bergelora......saya mengelaborasi tulisan saya dengan buah fikiran ini. Tidak seorangpun termasuk juga Ishfaq yang ingat apa yang kami tulis, akan tetapi beliau (Ishfaq) suka denga tulisan saya karena lebih baik dari tulisan abang saya.

Setelah itu, walaupun saya sangat antusias dan punya peluang dalam tulis menulis, tapi hal tersebut sempat berhenti seketika karena ayah saya sangat cemas dengan pembelajaran kami, lalu kebanyakan waktu kami ditumpukan untuk membaca. Jadi, saya banyak membaca buku dalam bahasa Urdu dari berbagai disiplin ilmu serta berbagai jenis literatur.

Pada tahun 1914 saya lulus ujian Maulawi dan abang saya menganjurkan kepada saya untuk menterjemah buku hasil karya Qasim Amin yang berjudul Al-Mar-ah Al-Jadidah (Perempuan Modern, cetakan pertama pada tahun 1899) kedalam bahasa Urdu.10 Allah maha tahu dimana letaknya lembaran-lembaran terjemahan itu berada, tapi yang masih saya ingat adalah ketika saya sodorkan hasil terjemahan itu kepada ayah saya, beliau merasa gembira. Ini adalah karya saya yang pertama. Terus, pada tahun 1917 ketika saya di Bhopal saya mencoba untuk meningkatkan skill dalam tulis menulis disamping saya menambah bacaan dari buku-buku lain. Keinginan untuk menjadi seorang penulis adalah termasuk cita-cita saya sejak kecil lagi. Pada mulanya bentuk tulisan saya banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan orang lain, tetapi pada tahun 1921 saya sudah memiliki bentuk dan gaya penulisan tersendiri dan tidak meniru dari orang lain.

Saya percaya, setiap pemikiran dan pendapat mempunyai pembendaharaan kata tersendiri dan setiap hasil pemikiran biasanya dituangkan dalam bentuk tulisan dengan jelas dan dengan kalimat-kalimat yang pas. Jadi, saya sangat berhati-hati dalam memilih kata-kata ketika menulis. Hasilnya, saya bisa berhemat dalam tulisan (tidak muluk-muluk, Pent) dan setiap waktu saya berusaha untuk mengumpul informasi dan mengolahnya dengan baik sehingga menjadi sebuah fikiran yang bermanfaat.

Footnote
1 Saya merasa berhutang budi dengan Iqbal Ahmad Khan dan Zafar Ishaq Ansari atas komentar dan saran mereka yang sangat berharga dalam penyusunan draf pertama penterjemahan ini.
2 Jama’at-I-Islami pada mulanya didirikan di India pada tanggal 26 Agustus 1941, setelah berpisah dengan India pada tahun 1947, Jama’at-I-Islami pecah menjadi tiga cabang, Jama’at-I-Islami India, Pakistan dan Jammu dan Kashmir. Walaupun ketiga-tiganya mengikuti ide Maudoodi, tetapi secara organisatoris mereka berbeda dan independen. Pada tahun 1947 Maudoodi terpilih menjadi Amir (ketua) Jama’at-I-Islami Pakistan. Dan pada tahun berikutnya berdiri pula cabang Jama’at-I-Islami di Bangladesh dan Sri Langka. Untuk lebih jelasnya tentang organisasi-organisasi ini silakan lihat: Mumtaz Ahmad “Islamic Fundamentalism in South Asia: The Jama’at-I-Islami and The Tablighi Jama’at” in Martin E. Marty and R. Scott Appleby, eds, Fundamentalism Observed (Chicago: University of Chicago Press, 1991), pp.457-530: Rafiuddin Ahmad, “Redefining Muslim Identity in South Asia: Islamic Fundamentalism in South Asia: The Transformation of the Jama’at-I-Islami, in Martin E. Marty and R. Scott Appleby, eds, Accounting for Fundamentalism: The Dynamic Character of movements (Chicago: University of Chicago Press, 1994), pp. 699-705: Kalim Bahadur, The Jama’at-I-Islami of Pakistan (New Delhi: Chetana Publications, 1977), Violette Graff, “La Jama’at-I-Islami en Inde, in Oliver Carre and Paul Dumont, eds, Radicalismes Islamiques, (Paris: L’Hartmannn, 1986), vol. 2, pp. 59-72: dan Sayyed Vali Reza Nasr, The Vanguard of the Islamic revolution: The Jama’at-I-Islami of Pakistan ( Berkeley: University of California Press, 1994).
3 Beberapa buku dan artikel yang membicarakan tentang ideologi Maulana Maudoodi, seperti: Sheila McDonough, Muslim Ethics and Modernity: A Comparative Study of the Ethics Thought of Sayyed Ahmad Khan and Maulana Maudoodi (Waterloo, Ontario: Wilfred Laurier University Press, 1984); Masudul Hasan, Sayyed Abul A’ala Maudoodi and His Thought, 2 vols (Lahore: Islamic Publications, 1984); Charles J. Adams, The Ideology og Maulana Maudoodi, in Donald E. Smith, ed, South Asian Politics and Religion (Princeston: Princeston University Press, 1966), pp. 371-97; idem, Maulana Maudoodi and the Islamic State, in John L. Esposito, Voices of Resurgent Islam ( New York: Oxfoooord University Press, 1983) pp. 99-133; Khursid Ahmad and Zafar Ishaq Ansari, Maulana Sayyed Abul A’la Maudoodi: An Introduction to His Vision of Islam and Islamic revival, in Khursid Ahmad and Zafar Ishaq Ansari, eds, Islamic Perspectives: Studies In Honour of Maulana Sayyed Abul A’la Maudoodi (Leicester: The Islamic Foundation, 1979), pp. 359-84.
4 Tentang pengaruh Maudoodi terhadap ekspresi Islam kontemporer di Dunia Islam, silakan lihat “Islamic Da;wah in the West: Muslim Missionary Activity and the Dynamics” Larry Poston.
5 Ide Ahmad Hasan (Bapak Maudoodi) ini pada tahun berikutnya memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap pandangan Maudoodi dengan system perundang-undangan di sebuah Negara Islam. Dalam karyanya, Maudoodi mengkritik cara perundang-undangan Barat dalam menyelesaikan suatu masalah dengan mendatangkan lawyer, cara ini akan memberi izin kepada orang lain untuk membela kebohongan dalam satu permasalahan. (lihat, Sayyed Abu al-‘Ala Maudoodi, Islamic Law and Consitiutsion, edited Khursid Ahmad, (Karachi: Jamaat-e-Islami Publications).
6 Maulana Farahi adalah alumni Aligarh dan dekat dengan Shibli Nu’mani (1857-1914). Beliau seorang yang alim dalam mentafsirkan Al-Quran dan juga sebagai pelindung Muslim Education. Ide-idenya tentang pendidikan banyak ditelurkan di Universitas Usmania Hyderabad dan Madarasatul Islah Sara’i Mir di Azamgarh. Untuk lebih jelasnya tentang riwayat hidup Farahi dan tafsirnya, lihat Mustansir Mir Choherence in the Qur’an (Indianapolis: American Trust Publication, 1986), hal: 6-7 dan 42-44.
7 Untuk melihat lebih lanjut tentang Pergerakan Khilafah, lihat Gail Minault, The Khilafat Movement: religious Symbolisms and political Mobilization in India (New York: Columbia University Press, 1982).
8 Maudoodi hanya menterjemahkan sebagian saja dari Asfar. Dan penterjemahan tersebut dibawah bimbingan Manazir Ahsan Gilani.
9 Perlu untuk difahami, walaupun kedua buku syair diatas berbicara tentang cinta, tetapi isinya sangat menitik beratkan kepada moral dan etika.
10 Yang menarik dari buku Qasim Amin adalah penulis mengetengahkan argumen-argumen intelektual muslim terhadap perempuan. Yang kemudian hari dibantah oleh Maudoodi.

Your Comment