Monday

Menyikapi Perbedaan


Perbedaan merupakan sunnatullah di muka bumi ini, sebab banyak faktor kenapa manusia selalu berbeda. Mulai dari berbedanya alur pemikiran manusia sampai kepada pemahaman-pemahaman terhadap nash-nash Al-quran dan hadits yang sudah ada. Yang pasti perbedaan dan keragaman itu hal yang pasti yang sudah diciptakan oleh Allah melalui fenomena Alam. Sebab kalau Allah mau, Allah bisa buat seragam sehingga semuanya manusia menjadi makhluk beriman. Jadi keragaman adalah kehendak Allah. Penyeragaman adalah penentangan terhadap kehendak itu. Penolakan terhadap perbedaan dan keragaman sama saja penolakan terhadap perbedaan kelamin! Masa’ sih anda maunya di dunia ini perempuan saja, tidak ada laki-lakinya. Susah dong, jika tidak boleh dikatakan mustahil bin tidak mungkin. Namun yang dituntut dari kita adalah bagaimana menyikapi perbedaan itu dengan baik dan bijak.

Secara umum, segala yang ada dalam Islam bisa dibagi dalam dua klasifikasi. Pertama: Sesuatu yang sudah fixed, tidak bergerak, statis dan kadang bersifat universal. Kedua: Ada yang masih bisa di “rubah”, dipengaruhi oleh kondisi ruang dan waktu.

Yang pertama, dalam terminologi disiplin keislaman, disebut dengan "ma'lum min al din bi al dharurah" yaitu sesuatu yang sudah fixed dan tidak bisa dirubah-rubah. Sebotak apapun anda jangan coba-coba untuk merubahnya, kecuali kalau anda mau dituduh nyeleneh, liberal, pluralis dan bahkan kafir dll. Termasuk dalam jenis ini adalah kewajiban shalat, kewajiban puasa Ramadhan dan beberapa hal lainnya yang mendasar.

Klasifikasi kedua adalah bahwa dalam Islam masih ada yang bisa di “rubah”, tidak harga mati. Dalam realitanya kalau anda baca buku-buku keislaman yang jumlahnya jutaan (kayak udah pernah ngitung aja !), anda akan sependapat dengan saya, bahwa kategori ini adalah kategori yang dominan dalam hukum Islam hingga saat ini. Bisa di “rubah” di sini disebabkan oleh, diantaranya:

  1. Berbedanya akal fikiran dan kemampuan seseorang dalam meng-analisa suatu permasalahan yang timbul, baik yang berhubungan dengan nash-nash ayat Al-quran, Hadits maupun juga dengan tata bahasa arab itu sendiri.
  2. Berbedanya lingkungan dimana seseorang tinggal, mungkin suatu hukum di tempat A bisa dipraktekkan, tapi hukum tersebut tidak cocok ditempat B. Seperti yang dilakukan oleh Imam As-Syafi’i, yang kita kenal dengan Qaul Qadim ketika beliau di Iraq dan Qaul Jadid ketika di Mesir.
  3. Kecondongan hati dalam menilai suatu dalil. Seperti satu hadits menurut imam fulan lebih kuat dibanding hadits yang lain disisi imam yang lain.
  4. Dan masih banyak lagi, seperti suatu imam mendahulukan Hadits Ahad dibandingkan dengan yang lain dan begitulah seterusnya. Semuanya akan membawa konsekwensi yang berbeda yang membawa kepada perbedaan.

Pertanyaan sekarang adalah apakah berbeda pendapat itu dapat dikatakan bahwa ia merupakan rahmat bagi umat Islam? Tentunya jawaban atas hal ini selalu dilandaskan kepada sebuah hadits yang amat masyhur, yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat itu adalah rahmat. Mungkin, sedikit penulis ingin mengulas tentang hadits tersebut dan kualitasnya. Hadist tersebut berbunyi:


اِخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat.”

Hadits dengan redaksi seperti ini sebagai yang disebutkan Imam as Suyuthy dalam bukunya: Ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah dan Al-Jami’ as-shoghir fi Ahadits al basyir an-Nazir diriwayatkan oleh Syaikh Nashr al-Maqdisiy di dalam kitabnya “al-Hujjah” dan al-Baihaqiy di dalam kitabnya “Ar-risalah Al-asy’ariyah” tanpa sanad. Dan perlu diketahui bahwa untuk menilai suatu hadis tersebut shoheh atau tidaknya yang pertama dikaji adalah sanad hadits (jalur transmisi hadits) dan setelah itu matan hadist.

Penahqiq (analis) buku Ad-Durar al-Muntatsirah Fi al-Ahadits al-Musytahirah, yaitu Syaikh Muhammad Lutfi ash-Shabbagh memberikan komentar: “Hadits ini kualitasnya Dha’îf (Lemah). As-Syaikh al-Albany dalam kitabnya Dha'if al-Jami’ (hadist no: 230) dan Silsilah al-Ahadits adha’ifah (hadits no: 57) mengatakan: (hadits ini) La ashla lahu (tidak diketahui sumbernya). Imam as-Sakhawi dalam kitabnya Faydl al-Qadir, jld.I, h.209-212, menukil pendapat imam as-Subki, beliau berkata: “(Hadits ini) tidak dikenal di kalangan para ulama hadits dan saya tidak mengetahui ada sanad yang shahih, dla’if atau mawdlu’ mengenainya.”

Menurut Syaikh Muhammad Luthfi “Perbedaan pendapat itu bukanlah rahmat tetapi bencana akan tetapi ia merupakan hal yang tidak bisa dihindari sehingga yang dituntut adalah selalu berada di dalam koridor syari’at dan tidak menjadi sebab perpecahan, perselisihan dan perang”.
Sekarang dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan dalam masalah furu’iyyah adalah suatu keniscayaan dan mustahil hal tersebut bisa disatukan dan akan mengurangi nature agama Islam itu sendiri.

Tugas kita selanjutnya sebagai manusia akademis adalah menerangkan kepada masyarakat awam yang ngamuk karena ta’asub/panatik kepada mazhab tertentu, kelompok, kiyai, guru, tokoh dll, bahwa anda bisa berbeda pendapat tanpa harus bermasam muka, tonjok-tonjokkan. Pada dasarnya, ini cuma masalah sikap kita dalam menanggapi perbedaan dan keragaman, jangan sampai dalam menyikapi perbedaan itu anda memutuskan hubungan silaturrahmi yang disebabkan hanya masalah perbedaan yang tidak terlalu mendasar karena silaturrahmi merupakan hal yang sangat dianjurkan dalam Islam itu sendiri. Wallahuallam bhishowab.

Sunday

Madrasah Rasulallah SWT: Prototype Pembentukan Ummat


Sebuah bangunan yang kokoh tentu tidak berdiri dengan sendirinya, pasti telah melalui sebuah proses yang panjang dan melelahkan. Mulai dari proses mengali lobang tempat berdirinya pondasi bangunan sampai penyusunan batu bata, menancapkan besi, dan pengecoran semen. Proses tersebut dilakukan agar pondasi bangunan menjadi kuat, tidak mudah rusak oleh gempa bumi, terpaan angin atau badai yang datang dengan tiba-tiba. Penanaman pondasi yang asal-asalan sudah tentu bangunan akan cepat rusak, mudah roboh walaupun yang datang hanya angin sepoi-sepoi.

Sebagai mana bagunan yang kokoh memerlukan penanaman pondasi yang kuat, sama halnya dengan pembentukan ummat, ianya memerlukan kepada penanaman pondasi (baca: ‘aqidah, iman dan akhlak) yang kuat agar tidak mudah goyah dengan gemerlapnya kehidupan dunia dan godaan-godaan yang datang silih berganti. Begitu juga dengan melahirkan rijaludda’wah yang mengikrarkan ubudiyyahnya hanya kepada Allah SWT tidak semudah membalik telapak tangan, akan tetapi memerlukan pengorbanan, kesabaran, waktu yang panjang serta komitmen yang berkesinambungan.

Paling tidak ada tiga tahapan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam membentuk masyarakat ketika di Makkah: Pertama: Tahap pembangunan ‘Aqidah. ‘Aqidah merupakan yang pertama dan utama dalam pembentukan syakhsiyyah Islamiyyah dan ‘Aqidah juga yang akan membetulkan segala tindak-tanduk seseorang berikutnya. Kedua: Tahap mempraktekkan Iman dalam kehidupan sehari-hari “Iman bukanlah dengan angan-angan, tetapi ia adalah apa yang bertahta di hati dan dibuktikan dengan perbuatan”. Ketiga: Hijrah, tahap mempraktekkan ideologi dalam kehidupan bernegara. Hal itu ditandai dengan hijrahnya Rasulallah SAW bersama para sahabat ke Madinah Al-Munawwarah untuk mendirikan negara yang berdaulat.

Disamping memperkokoh tiga komponen diatas, baginda juga melakukan penanaman mafaahim; bahwa agama Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, tidak ada satu persoalanpun yang menyangkut kehidupan manusia yang tidak diatur oleh Islam, baik yang berkaitan dengan hukum ataupun yang menyangkut masalah ‘aqidah, ibadah, politik, ekonomi, peperangan, perdamaian, perundang-undangan dan semua konsep hidup manusia. Dan Barang siapa yang memilih agama selain agama Islam maka mereka termasuk golongan orang-orang yang merugi (QS. 3:85).

Model berda’wah yang dilakukan oleh Rasulallah SAW melalui proses pembinaan para sahabat tersebut membuahkan hasil yang luar biasa. Disana sederet nama-nama para sahabat yang diabadikan oleh sejarah, tingkat keimanan mereka telah teruji. Sebut saja misalnya: keluarga Ammar bin Yasir yang mendapat gelar awwalussyahid fil Islam. Bilal bin Rabah yang disiksa oleh Abu sofiyan dengan meletakan batu besar diatas dadanya dipadang pasir yang panas. Abu Bakar As-Siddiq yang menemani Rasul ketika di Gua Tsur. Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang sangup tidur ditempat tidurnya Rasulullah SAW ketika para kafir Quraish ingin membunuh baginda, padahal resiko yang dihadapi oleh saidina Ali adalah maut. Mereka semuanya (Radiyaallahu ‘anhum ajmaain) adalah produk binaan Rasulullah yang tingkat militansinya sudah teruji, maka kita kenal mereka dengan generasi Al-Quran yang unik yang memiliki ‘aqidah salimah, ibadah shohihah, akhlak yang baik serta mafaahim yang terarah.

Proses pembinaan yang lakukan oleh Rasulallah SAW di Darul Al-Arqam itu, mengambarkan bahwa untuk melahirkan generasi yang tangguh dan tahan banting perlu melakukan sebuah proses pembinaan untuk menyatukan misi dan visi dalam berda’wah, karena kalau tidak, biasanya banyak hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi. Misalnya: saling menjatuhkan, tidak siap dipimpin oleh orang lain, berkelahi sesama sendiri dalam masalah-masalah yang sepele dll. Secara zahir bersatu tapi sebenarnya hati-hati mereka bercerai berai “Tahsabuhum jamii’an wa Quluubuhum Syatta”(QS. 59:14). Disinilah sebenarnya letak pentingnya penyatuan visi dan misi ketika ingin melakukan perkerja-pekerjaan besar semacam pergerakan da’wah. Proses pembinaan dilakukan agar ada sifat ta’aaruf, tafaahum dan takaaful dalam diri tiap-tiap individu, sehingga dari situ lahirlah ribathul quluub yang kuat diantara sesama.

Prototype (model) pembentukan ummat yang dipelopori oleh Rasulallah SAW ini, sekarang banyak diikuti oleh pergerakan-pergerakan da’wah di dunia hari ini karena hasilnya yang luar biasa, mampu mencetak generasi da’wah yang kuat, tangguh dan tetap konsisten dalam menjalankan perintah-perintah Allah SWT. Siap bekorban demi mempertahankan Islam sebagai Agama dan ideologi, serta menjadikan Islam sebagai manhaj hayah dalam kehidupan bermasyarakat[]

"Yaa Ilahi Antal maqshudi wa ridhaka mathlubi".
Wallahu ‘allam Bishowab.


Friday

Gurindam


Seseorang yang tajam pemikirannya, luas pengalaman dan senantiasa berpijak pada kenyataan, sangat menyadari bahwa tidak ada gunanya perkataan jika tidak disertakan dengan berbuatan dan tidak ada gunanya kepintaran jika tidak disertai dengan budi.

Ahli-ahli filsafat seringkali mengingatkan, tidak ada gunanya kepintaran jika tidak disertakan dengan budi. Juga, tidak ada gunanya kejujuran kalau tidak sangup memegang janji dan tidak gunanya negeri yang makmur kalau hati rakyatnya penuh dengan kekecewaan.

Para cendikiawan juga berkata, setiap insan yang hidup akan bahagia jika ia tidak mengerti betapa kehidupan harus memberi manfaat kepada rohani, jasmani, dan kepada masyarakat (khairunnas ‘anfa ‘uhum linnas). Hidup yang berkah adalah hidup yang diridhoi oleh Allah.

Ungkapan Al-Quran, hadits Nabi dan ahli pemikir Islam juga banyak menekankan hakikat orang mukmin adalah saudara orang mukmin, hormat menghormati dan saling menghargai antara satu dengan yang lain.

Kita juga sering mendengar pepatah Melayu kuno, mufakat adat duduk berdekatan, dekat rumah dekat kampung, boleh pinta meminta, sakit pening jenguk menjenguk, seperigi sepermandian, sehalaman sepermainan, tanahnya datar airnya jernih, mufakatnya membawa esa.

Tapi aneh! Kata-kata hikmah dan pepatah yang sering disebut-sebut dan dimegah-megahkan itu amat sukar menjadi kenyataan. Realita ini sangat jelas sekali dikalangan manusia yang mengaku paling halus bahasa dan paling unggul budi dan budaya.

Thursday

Cintaku Pada Mu


Ya Allah.....
Aku telah meletakkan dan memberikan sepenuhnya hati ini kepadaMu untuk dilindungi daripada segala kejahatan yang akan merusak kemuliaannya.

Ya Rabby.....

Seandainya hati ini ingin Kau berikan kepada makhluk ciptaanMu, berikanlah kepada khalifahMu yang turut mencintaiMu supaya hatiku tidak pernah berhenti daripada berzikir kepadaMu dan rahmatilah diriku dengan limpahan kasih sayangMu... ya Allah.

Ya Allah....
Jika aku jatuh cinta, cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya padaMu, agar bertambah kekuatanku untuk menyintaiMu.

Ya Muhaimin.....
Jika hatiku selalu bergetar, izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya berpaut padaMu agar tidak aku terjerumus dalam jurang cinta nafsu...

Ya Rabbana......
Jika aku jatuh hati jagalah hatiku agar tidak berpaling dari Mu.....

Ya Rabbul Izzati.......
Jika aku rindu, rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan Mu....

Ya Allah.......
Jika aku menikmati cinta kekasihMu janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhirMu.

Ya Allah......
Jika aku jatuh hati pada kekasihMu jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepadaMu..

Ya Allah......
Jika Kau halalkan aku merindui kekasihMu jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya kepadaMu...


Ya Rabbana..... Taqabbal minna Innaka antas sami’ul Alim watub Alaina Innaka anta tauwwaburrahim, birahmatika ya Arhamar Rahimin....Amin Yarabbal alamin.....

“Aku mencintaimu kerana agama yang ada padamu.
Jika kau hilangkan agama daripada dirimu,
hilanglah cintaku padamu”

Wednesday

Kunci-kunci Rezeki Menurut Al-Qur’an dan As-sunnah


Resensi Buku

Judul buku : Mafaatihul Rizq fi Daw’ Al-Kitab wa Al-Sunnah
Pengarang : DR. Fadl-ul-Ilahi.
Tebal : 104 Halaman
Ukuran : 12 X 17 Cm
Penerbit : Darul Al-Jarisi, Jeddah.
Cetakan : IIV (1998)

“Berpegang teguh dengan ajaran Islam di era globalisasi seperti sekarang ini akan menyulitkan rezeki. Kalau ingin hidup dengan senang dan memperolehi harta yang banyak, harus memejamkan mata dari aturan-aturan agama karena agama selalu menghalang dalam masalah mencari rezeki dengan mengharamkan ini dan mengharamkan itu lah. Pokoknya agama menyulitkan rezeki dan menghalang kemajuan”.

Keluhan atau ungkapan semacam ini sering kita dengar dari mulut orang awam yang tidak paham hakikat agama ini. Mereka menggangap agama adalah cuma melaksanakan praktek-praktek ritual saja seperti solat, zakat, haji, nikah dan urusan yang bersangkut paut dengan mati. pemahaman seperti ini sudah lama berkembang dalam masyarakat kita sampai hari ini.

Islam adalah agama yang menyeimbangkan perhatian antara kebutuhan duniawi dan kebutuhan ukhrawi, dengan menjadikan dunia ini sebagai ladang atau ruang aktifitas untuk mendapatkan bekal akhirat. Tidak ada pemisahan antara urusan dunia dan urusan akhirat. Semua yang telah dikerjakan manusia di dunia ini akan dipertangungjawabkan di akhirat nanti, dan semua yang dibutuhkan diakhirat nanti hanya bisa dipersiapkan didunia ini. Dua keterikataan ini menuntut proporsi keseimbangan perhatian yang mensejahterakan keduanya. Tidak akan pernah dicapai sa’adah (kebahagiaan) duniawi tanpa memperhatikan demensi ukhrawi, sebagaimana tidak akan pernah ada sa’adah ukhrawi jika tidak dipersiapkan sejak dialam dunia ini.

Begitulah pengarang buku ini memulai pembahasanya dengan menceritakan keadaan masyarakat umat islam hari ini yang selalu risau terhadap kekurang dan kesusahan dalam mencari rezeki. Dalam buku ini pengarang mencoba mengetangahkan kepada kita semua sumber-sumber rezeki yang telah dilupakan oleh masyarakat hari ini.

Pengarang membagikan buku ini kepada sepuluh mathlab (tuntutan) agama yang apabila kita kerjakan Insya Allah ianya akan membuka pintu-pintu rezeki kita dengan yang tidak disangka-sangka.

Sebelum memulai pembahasan ditiap-tiap tuntutan, terlebih dahulu pengarang menerangkan hakikat dari tuntutan tersebut dan setelah itu beliau mengetengahkan dalil-dalil dari Qur’an dan sunnah serta pendapat para ulama’ tentang tuntutan yang terkait menjadi sebab dibukanya pintu rezeki oleh Allah SWT.

Sebagai contoh kita lihat di tuntutan yang pertama yaitu Istighfar dan taubah. Banyak orang mengangap bahwa istighfar dan taubah hanya dengan ucapan “Ashtaghfurullahal Azdhim wa atubu ilaihi” ucapan ini sama sekali tidak akan memberi bekas kepada pelakunya kalau tidak disertai dengan syarat-syarat taubah yang telah digariskan oleh agama dan ianya termasuk dari perbuatan orang yang pendusta terhadap agama.

Seperti yang dikatakan oleh imam Nawawi, taubah mempunyai tiga syarat pokok. Pertama: meninggalkan maksiat yang telah dilakukan. Kedua: hendaklah menyesal atas dosa yang telah dilakukan. Ketiga: bercita-cita untuk tidak mengulanginya kesalah yang sama di masa akan datang. Kurang salah satu dari tiga syarat tersebut maka taubat seseorang tidak akan diterima oleh Allah. (hal: 11-12).

Selanjutnya pengarang mengetengahkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan sunnah yang menjelaskan hakikat istighfar dan taubah yang menjadi sebab dibukanya pintu-pintu rezeki. Seperti firman Allah SWT dalam surah Nuh ayat 10-12, surah Hud ayat 3 dan 52. Dalil dari sunnah seperti hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA “Barang siapa memperbanyak Istighfar maka Allah akan menjadikan setiap kesulitan jalan keluar dan setiap kesempitan akan mengantikan dengan keluasan, serta memberikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangkakan” (HR Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Nisa’i, dan Hakim).

Kalau kita lihat dari segi keilmiahan, buku ini memenuhi standar penulisan ilmiah dan hal ini terlihat jelas dari semua hadits-hadits yang dikutip oleh pengarang berasal dari sumber aslinya serta mentakhrijkanya (kembali kepada sumber asal) dari semua kitab-kitab hadits yang ada. Beliau juga mengutip Qaulul ulama’ (pendapat para ulama’) serta mengulasnya dengan cara yang sangat sistematis dan dengan gaya bahasa yang mudah untuk dipahami oleh semua orang.

Dan yang perlu di pahami adalah rezeki dan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Menggantungkan rezeki semata-mata pada pekerjaan yang kita lakukan adalah kesalahan, sebagai mana Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi telah memperingatkan dalam bukunya “Rezeki” (Gema Insani Press, 1995) Allah maha luas rezeki-Nya. Mengantungkan rezeki semata-mata pada pekerjaan yang kita lakukan sama dengan mempersempit pintu rezeki, padahal Allah membukanya lebar-lebar untuk kita. Akan tetapi mengharapkan rezeki dari Allah tanpa mau memeras keringat dengan kerja yang meletihkan, sama halnya dengan mengangap sepi nasihat Nabi Saw. “sesungguhnya, bekerja mencari rezeki yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah-ibadah fardu” (HR At-tabrabi dan Baihaqi). Barang kali, hadits diataslah yang menginspirasi rakyat Pakistan sehingga mencantumkan makna hadits ini disetiap uang kertas mereka “Husule rizq halal ibadat hay”.

Kesulitan demi kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat dalam masalah mencari rezeki menjadikan mereka mengkambinghitamkan agama dan hal ini sangat berbahaya sekali karena pada akhirnya nanti masyarakat akan anti pada agama.

Pemahaman ini harus disampaikan kepada masyarakat luas. Tanpa itu maka jangan heran kalau orang Islam sendiri akan anti kepada Islam karena gara-gara mereka berangapan “aturan agama menyulitkan untuk memperoleh rezeki”. Para da’i harus andil dalam hal ini, karena dakwah adalah pekerjaan mempengaruhi, sementara dalam “kacamata” masyarakat orang kaya lebih mudah berpengaruh jika dibandingkan dengan orang miskin. Maka sebagai seorang calon da’i kita harus pandai untuk mencari jalan dan solusi dalam memudahkan mereka dalam mencari rezeki. Setelah kita memenuhi kebutuhan mereka barulah mereka akan mendengar nasehat-nasehat agama yang kita sampaikan.

Praktik-praktik semacam ini adalah cara-cara yang paling berhasil yang pernah dilakukan oleh para misionaris Kristen dalam memurtadkan umat islam ditanah air. @Wallahu ‘alam bishowab.




Friday

Pribadi



Bebanmu akan berat
Jiwamu harus kuat
Tapi aku percaya........
Langkahmu akan jaya
Tegakkan budimu
Kuatkan pribadimu. (Hamka)

Secara sekilas ada sesuatu yang ingin Buya Hamka sampaikan dalam bait-bait diatas. Beliau ingin mengingatkan kepada kita bahwa beban perjalanan hidup ini amat berat untuk dipikul karena onak dan duri akan selalu menghalang setiap langkah dalam kehidupan ini. Langkahmu akan kuat dan mantap apabila memiliki kepribadian yang kuat dan budi yang luhur.

Kepribadian adalah inner beauty bagi insan yang bernama manusia, karena dengan kepribadian seseorang siapapun dapat menilai baik dan buruknya. Saking pentingnya pribadi itu, dalam memilih pasangan hidup pun seseorang akan mencari dan meneliti pribadi-pribadi yang baik (sholeh/sholehah). Begitulah tabiat manusia yang selalu condong kepada yang baik dan menarik walaupun sebenarnya diri sendiri tidak baik. Tapi istri “saya” harus orang baik. Adalah suatu ketidakadilan jika kita menuntut orang lain berbuat baik sedangkan kita sendiri tidak baik. Maka yakinlah dengan janji Allah subhanahu wataala, bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula. Disinilah letak pentingnya pribadi itu.

Sebagai manusia biasa, kita harus ingat bahwa hakikat manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wataala terdiri dari jasad dan roh. Kedua-duanya harus diberikan keseimbangan yang sama dan merata, bukan hanya mempercantik diri dengan pakaian dan barang-barang yang bermerek internasional saja, tetapi lebih dari itu kita juga dituntut untuk mempercantik pribadi (akhlaq) yang merupakan barometer dalam pergaulan ditengah-tengah masyarakat (ta’amul fil al-mujtama). sebenarnya inilah rahasia dibalik kejayaan Rasulallah Shallahu Alaihi wasalam ketika beliau diutuskan oleh Allah swt keatas bumi ini “Innama bu’tstu liuttamima makarimal akhlaq” sesungguhnya aku (Muhammad) diutuskan untuk menyempurnakan akhlaq.

Banyak tipe pribadi yang kita jumpai dalam pergaulan sehari-hari. Ada orang yang selalu membangakan diri dengan kelebihan yang dimiliki, sombong dan mengecilkan peran orang lain. Dan ada juga tipe orang yang menjodoh-jodohkan orang lain. Sipulan ini cocoknya dengan sipulanah. Sianu cocoknya dengan sipulan. Budaya semacam ini seharusnya tidak terjadi karena belum tentu orang yang kita jodoh-jodohkan itu suka dan senang dengan sikap tersebut. Tapi malang seribu kali malang hal itu terjadi. Dan tanpa diketahui dan disadari dampak dari perbuatan tersebut masyarakat menjauh darinya dan tidak mau berkawan karena takut dengan sikap dia yang kurang berhati-hati tadi. Orang lain akan hilang ketsiqohannya karena ulah dan perbuatannya yang tidak terpuji itu yang akibatnya merugikan diri sendiri.

Tipe lain, ada orang yang membangakan diri bahwa dia anak pulan, keluarga pulan.….apalah artinya kalau sekiranya orang menghormatinya atau segan kepadanya hanya karena dia anak si pulan, keluarga sipulan, menantu sipulan dan murid sipulan. Bukan karena pribadi sendiri. Inilah yang dinamakan oleh orang benalu, yang hidup bukan dari pohon sendiri akan tetapi hidup diatas pohon yang lain. Apabila pohon mati maka benalu juga akan mati. Dalam pepatah Arab disebutkan:


ليس الفتى من قال كان أبي # ولكن فتى من قال هذا أنا

Bukanlah seorang pemuda yang mengatakan “dulu bapak saya begini dan begitu”, akan tetapi seorang pemuda adalah barang siapa yang mengatakan inilah saya.

Rasa sombong dan membangakan diri merupakan penyakit yang harus disembuhkan, kalau tidak akan memberi dampak yang negatif kepada penderita penyakit tersebut. Untuk menghilang penyakit sombong dalam diri cobalah sekali-sekali mencuci piring didapur setelah program usai, bersihkan dan rapikan tempat-tempat yang telah digunakan, jangan sekali-kali punya pikiran “nyuci piringkan bukan pekerjaan saya”, justru dengan berkata demikian akan ada rasa sombong dalam diri. Rasulallah Sallalahu Alaihi Wassalam pernah mencontohkan kepada para sahabatnya. Ketika sedang beristirahat dalam satu perjalanan yang melelahkan. Rasulallah Sallalahu Alaihi Wassalam membagi para sahabat untuk menyiapkan makanan, tapi sebelum itu Nabi Sallalahu Alaihi Wassalam menawarkan kepada sahabat: “siapa yang mencari air, saya kata salah seorang sahabat. Lalu siapa yang menyiapkan alat2 masak? saya kata sahabat yang lain. Setelah semuanya mendapat pekerjaan lalu Rasulallah Sallalahu Alaihi Wassalam berkata “saya sendiri akan mengumpulkan kayu bakarnya. Inilah contoh pribadi yang baik dan jauh dari kesombongan. Kalaulah orang lain yang berada diposisi Nabi ketika itu niscaya orang tersebut hanya mengatur dan tidak berbuat apa-apa.

Dan yang kedua untuk mengikis rasa kesombongan dalam diri adalah dengan cara merendah diri, jadilah seperti bintang-gemintang yang berkilau apabila dipandang orang. Janganlah seperti asap yang mengangkat diri tinggi di langit padahal dirinya rendah-hina.

Sifat mengalah, toleransi, saling hormat menghormati – walaupun bukan dari kelompok sendiri, pintar mengasuh dan bergaul dengan siapa saja – selagi menjaga batas-batas yang wajar – adalah diantara beberapa sifat pribadi yang baik untuk dilestarikan dalam kehidupan kita sehari-hari karena kepribadian yang baik itu adalah mahal harganya dan tidak semua orang memilikinya. Begitu juga dalam menilai orang lain, kita tidak cukup hanya melihat dari segi zahirnya saja akan tetapi lihatlah dari seluruh aspek agar kita tidak salah. Makanya indah sekali perumpamaan yang diberikan oleh Buya Hamka – dalam salah satu tulisanya:

“Dua puluh ekor kerbau pedati yang sama-sama gemuknya, sama kuatnya, sama pula pandainya menghela pedatinya, tentu harganya pun tidak jauh beda antara satu sama lain. Tetapi duapuluh orang manusia yang sama tingginya, sama kuatnya, belum tentu sama “harganya”. Sebab bagi kerbau tubuhnya yang berharga. Bagi manusia pribadinya”.

Beruntunglah orang-orang yang menitik beratkan dan mengambil perhatian terhadap dirinya untuk membangun pribadi-pribadi yang baik ditengah zaman yang lebih mementingkan kecantikan luar daripada kecantikan pribadi. Wallahu Alam Bhisowab.

Islam Is The Solution


Ketika sedang asyik membaca koran di depan hostel satu IIU Islambad tentang astronot China “Yang Liwei” yang telah selamat sampai dari ruang angkasa, tiba-tiba teman akrab penulis menegur “Madza Taqra’ Ya Akhi?”. Dengan mata yang masih meneliti bait-bait di koran The News International, penulis menjawab: Kita umat islam masih terbelakang, coba lihat Cina yang masih tergolong negara ke tiga, sudah bisa sampai ke ruang angkasa. Tapi kita umat Islam, sampai hari ini masih ikhtilaf dalam menentukan awal bulan suci Ramadhan di zaman tehnologi yang begitu janggih. Mendengar komentar tersebut, teman akrab penulis menjawab “Sebenarnya masalah yang dihadapi umat Islam hari ini bersumber dari perbuatan mereka sendiri. Amanat yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada umat ini telah diabaikan. Baik itu amanat iman, amanat ibadah, dan amanat kepemimpinan. Oleh sebab itu, kita umat Islam banyak menghadapi kesusahan dan kemungkaran di dunia ini”.
Penulis yang dari tadi mendengar argumen yang diberikan teman tersebut, lantas bertanya “Coba anda terangkan lebih detail lagi kepada saya tentang amanat yang telah diabaikan oleh umat Islam tersebut”.

Sambil duduk disamping penulis, teman ini menjawab. Pertama, Amanat ibadah. Umat Islam hari ini telah melalaikan amanat ibadah yang telah Allah SWT wajibkan kepada umat ini. Sambil membenahi tempat duduknya dia berkata: Jangan jauh-jauh kita mengambil contoh, lihat saja di lingkungan kita sendiri, dari kamar yang berjumlah ratusan, yang aktif shalat subuh berjamaah di masjid hanya segelintir saja. Lalu ke mana yang lain?

Kedua, amanat kepemimpinan. Coba anda lihat pemimpin umat Islam hari ini. Mereka kebanyakan munafiq dalam kepemimpinannya. Bukannya membela hak-hak orang Islam, tetapi malah membantu musuh-musuh Islam menghancurkan umat Islam itu sendiri. Dulu, dalam peperangan qadsiyah ketika seorang wanita muslimah diganggu oleh seorang kafir dan berita itu sampai ke telinga Khalifah, spontan Khalifah mengirim pasukan untuk menyerang kaum kafir tersebut. Dari sini terlihat, betapa tingginya izzah Islam ketika itu. Tapi apa yang kita saksikan pada hari ini, beribu-ribu umat Islam yang mati demi mempertahankan hak-haknya, akan tetapi pembelaan itu malah dituduh menghianati agamanya sendiri atau dengan bahasa kerennya ‘mereka adalah terorist’.

Ketiga, amanat iman. Amanat inilah yang paling parah dan telah dilupakan oleh umat Islam. Walaupun kita tahu, iman akan bertambah dengan perbuatan terpuji dan bisa berkurang karena perbuatan keji pula. Tetapi kita masih saja tidak menjaga iman tersebut. Karena lemahnya iman kita, maka mudah diombang-ambing oleh musuh Islam”.

Penulis yang dari tadi mendengar argumen yang diberikan, lalu bertanya, “Apa solusinya agar umat Islam supaya bisa kembali ke zaman kegemilangnya?” Beliau menjawab sambil mengutip perkataan Imam Syafi’i Rahimahullah: “Umat ini tidak akan kembali kegemilangannya, kecuali mereka mengikuti langkah-langkah umat terdahulu (Salafus Saleh). Dan dia juga membaca hadits Nabi SAW, yang artinya:

“Akan datang suatu zaman kepada umatku, orang yang sabar terhadap agamanya (Islam) seperti seseorang menggenggam bara api”.

Lalu dia menambahkan, sabar di sini dalam arti tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama Islam dengan apa pun yang terjadi. Karena dengan agama Islamlah umat ini akan selamat.

Percayalah dengan Islam, kerena Islam sama sekali tidak menyulitkan kita, baik dari segi pembangunan ataupun kemajuan lainnya. Jadi kita harus yakin bahwa “Islam is the solution for all problems”. Wallahu A’lam.[]

Abdul Kholiq Saman
www.nupakistan.or.id/opini/httm.

Your Comment