Thursday

Memahami Kebebasan Berfikir

Salah satu hasil dari gerakan renaissance di Eropa abad ke-16 adalah munculnya gelombang modernitas yang tak terbendung sampai hari ini. Salah satu buahnya adalah bahwa manusia modern didorong untuk berpikir sebebas-bebasnya (dalam bahasa arab di sebut dengan Hurriyah al-fikry dan free-thinking dalam bahasa Inggrisnya) sehingga doktrin-doktrin agama dan keimanan kepada Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang membelenggu dan ketinggalan zaman, dan karena itu harus disingkirkan. Tiap gagasan yang mengkritik hal-hal yang sudah mapan akan dipandang “bagus”, “berani”, “ilmiah”, dan sebagainya. Tetapi sebaliknya gagasan-gagasan yang membela apa-apa yang sudah mapan, apapun juga, termasuk agama, cenderung dikategorikan kolot, jumud, kuno, ngak berkembang dan sejenisnya. Segala apa yang menghambat kemajuan befikir adalah musuh, menurut cara berpikir modern itu.

Biasanya yang mengkaji sesuatu menurut pemikiran ini memakai logika matematika, juga pendekatan perasaan, pendekatan trend kemanusian dewasa ini dan mendewakan akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Tapi anehnya kalau ada pihak yang kontra dengan mereka sebanyak apapun mereka mengeluarkan dalil dan argumentasi, lantas dipandang cenderung pro tradisi atau kurang ilmiah, atau bahkan dianggap memasung kebebasan.

Salah satu contoh adalah deklarasi "Tuhan telah mati" (God is dead) oleh Nietzsche seorang filosuf kontroversial dari Jerman yang telah menimbulkan heboh yang luar biasa di kalangan penganut agama formal seluruh dunia. Nietzsche pada akhirnya memang menjadi seorang nihilis, sementara kerinduannya untuk menemukan Tuhan pada waktu itu telah menemui jalan buntu, dan dia sendiri kemudian menjadi gila, 11 tahun sebelum meninggal pada 25 Agustus 1900 dalam usia 56 tahun. (Thus Spoke Zarathustra, 1976:297, Mengutip dari tulisan Ahmad Syafi’i Ma’arif). Tentunya hal ini merupakan hasil atau buah dari berfikir dengan sebebas-bebasnya tanpa memperhatikan batas dan koridor yang ditentukan oleh sang creator manusia itu sendiri.

Walaupun akal dapat membedakan antara yang baik dan buruk, akan tetapi akal manusia punya keterbatasan. Tidak semua yang ada di dunia ini bisa dicerna oleh akal fikiran manusia. Makanya dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda: “tafakkaru fi khalqillah wala tafakkaru fillah” (Hadis hasan, shahih al-jami’ lil Albani hadis no: 2979) atau berfikirlah terhadap apa-apa yang telah diciptakan oleh Allah dan jangan berfikir tentang zat Allah. Ajaran agama tidak bisa dianalogikan seperti teori matematika. Saidina Ali Radhiallahu ‘anhu berkata “kalaulah agama itu dengan akal maka niscaya yang diusap bawah (telapak)nya khauf (kaos kaki dari kulit binatang) bukan atasnya”. Sama halnya dengan seseorang apabila (maaf: kentut) ketika ingin berwudhu’ lagi harus membasuh muka, tangan, rambut, telinga dan kaki, kenapa tidak yang dibasuh tempat keluarnya kentut saja, kan lebih masuk akal?. Artinya akal manusia terbatas untuk mengetahui apa hikmah disebalik itu. Hal ini juga menunjukkan kelemahan akal manusia untuk menganalisa hal tersebut. Kebebasan haruslah sesuai dengan prinsip kebebasan itu sendiri tidaklah tidak terbatas. Hal ini menunjukan keterbatasan manusia sebagai makhluk dihadapan Allah SWT.

Menyangkut upaya sebagian kalangan mencari metode baru untuk mentafsir ulang (reinterpretasi) terhadap agama, siapa pun tidak akan keberatan. Tapi harus diingat, ada yang perlu dan ada yang tidak perlu untuk ditafsir ulang. Masak Alquran yang udah jelas mau ditafsir ulang dengan metode diluar yang disepakati oleh para ulama’ yang muktabar, hanya dengan alasan Alquran merupakan produk budaya (intaj tsaqafi), teks linguistik dan hanya merupakan fenomena sejarah. Tentunya hal ini mengada-ngada. Kalau alquran itu bersifat kebudayaan berarti bisa salah, karena manusia ataupun produk budaya tidak mungkin dianggap mutlak kebenaranya. Kesalahan itu bisa saja meliputi isi maupun teks Alquran. Kalau Alquran bisa salah, lantas apa lagi yang bisa kita yakini dari alquran? Nanti kalau ada orang yang merujuk Alquran mengenai sesuatu persoalan, orang yang lain akan dengan ringannya berkelit, “nanti dulu. Itu kan menurut kamu. Belum tentu benar kan?”. Kalau teks dan Alquran sudah dipandang relatif, apalagi yang mau kita pegang dan yakini? Akhirnya nanti berzina juga belum tentu salah, shalat belum tentu wajib, puasa boleh jadi berbeda dari yang sudah biasa dijalankan, dan seterusnya. Toh Alquran cuma produk budaya, yang tidak terlalu jauh berbeda dengan buku-buku lainnya.

Tafsir ulang sangat tepat apabila diarahkan untuk bagaimana merevitalisasi pendidikan, ekonomi, politik dan sebagainya agar menjadi lebih baik. Tapi sayang, sedikit yang kearah sana, yang ada kebanyakan berbicara pada tataran abstrak dan terkesan nyeleneh dan lalu dibakukan. Begitu juga dengan kebebasan berfikir, ianya harus diarahkan agar menjadi lebih positif dan kontruktif, terutama untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Tetapi yang sangat disayangkan kebebasan berfikir yang ada sekarang justru menkristal menjadi isme, abslutisme, bahkan manjadi agama baru yang mendampingi agama.

Penggalan ayat Alquran: la’allakum tatafakkarun, la’allahum yatafakkarun, liqaumi yatafakkarun, affala ta'qilun dsb. Ayat-ayat ini sering diartikan sebagai kebebasan berpikir oleh sebagaian orang. Akan tetapi ayat-ayat itu dalam pemahamannya, lebih tepat dimaknai sebagai optimalisasi berfikir bukan kebebasan berfikir tanpa batas. Barangkali, salah satu dari hikmah kenapa Allah SWT mengharamkan khamar (minuman keras), narkoba dan sejenisnya sebab apabila terkena itu, seseorang akan kehilangan akal sehatnya. Jadi agama Islam sangat menghormati akal karena Islam adalah agama untuk orang yang berakal. Akal hanya akan bermanfaat apabila akal berpikir dalam batas-batasnya bukan sebebas-bebasnya sehingga keluar dari koridor yang telah ditentukan.

Diakhir tulisan ini mari kita merenung sebuah hadis yang diriwayakat oleh imam at-Tarmizi bahwa Rasullullah saw bersabda: “orang yang berakal itu adalah orang yang memperhatikan dirinya dengan memperbanyak amal untuk bekal setelah mati. Sedangkan orang yang lemah itu adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan mengharapkan sesuatu kepada Allah tanpa melakukannya”. [] Waallahu ‘alam Bhishowab.

No comments:

Your Comment